#IndonesiaGelap (Ber)BAHASA SIAPA / APA kah?

#IndonesiaGelap (Ber)BAHASA SIAPA / APA kah?

Ungkapan "Indonesia Gelap" belum lama ini viral di sejumlah media sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “gelap” diartikan sebagai “tidak ada cahaya, kelam, atau tidak terang”.

Sementara kata gelap atau kegelapan dalam konteks peristiwa Reformasi 1998 dan/atau perjuangan Revolusi 1945, misalnya, lebih mengungkap dan menunjuk suatu saat dan tempat tepat yang perlu ditinggalkan sesegera mungkin dan dengan penuh semangat untuk maju dan berkembang ke arah titik situasi terang. Memang, ada kata gelap untuk istilah “mata gelap” yang menurut KBBI: berarti: “sangat marah sehingga menjadi lupa dan mengamuk.  Ada juga “gelap hati, dan KBBI memberi arti: “seseorang yang tidak dapat membedakan benar dan salah dan dapat melakukan tindakan yang tidak masuk akal”.

Hanya dalam waktu satu minggu (17 -25 Februari 2025) berlangsung salah kaprah dan suasana heboh, bising akibat ada persaingan kalah-menang, benar-salah, dalam perang kuasa antara kata “gelap” dan/atau kata “terang” dalam kehebohan di media massa digital di Indonesia dan dunia global.


Sumber: Majalah Tempo (24 Februari – 2 Maret) & Tempo.com

Dalam konteks Reformasi di Indonesia yang sudah lebih dari 25 tahun berlalu (1998-2025), ungkapan itu mau menubuatkan tentang Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Khususnya, setelah sosok yang disebut-sebut sebagai "Raja Jawa" yang akan lengser keprabon, madheg pandhita (turun tahta dan akan menjadi “Orang Suci” terhormat). Pengganti penerus kekuasaan rajawi termaksud, dengan perilaku berbeda adalah seperti: Habibie, Gus Dur, Megawati, dst. Hal dan masalahnya, pada awal tahun 2025, dengan presiden baru, negara bangsa Indonesia masih saja berada di ambang ketidakpastian Reformasi termaksud.

Dari masa silam, memang, orang - orang Hindia Belanda - sekarang Indonesia - pernah diingat(-ingatkan) bahwa Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia; dan mampu menjadi pilot project dari Gerakan Politik Etis atau Politik Hutang Budi Kerajaan Belanda di Hindia Belanda (1901 - 1942). Melalui kumpulan suratnya yang dikirim ke beberapa kenalannya di Belanda dan disunting serta diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang." Nama Kartini menjadi harum semerbak seperti tertulis pada lirik lagunya berjudul "Ibu Kita Kartini" ciptaan komponis ternama Wage Rudolf Soepratman.

Sengaja atau hanya kebetulan, majalah mingguan Tempo pada bulan kedua tahun 2025 ini terbit dengan cover berjudul "Habis Gelap Terbitlah Gelap" (24 Februari - 2 Maret 2025). Nampaknya, hal itu dipicu oleh demonstrasi mahasiswa dengan tagar (tanda pagar) atau hastag #IndonesiaGelap, sejak pertengahan bulan Februari 2025 di berbagai daerah.

Meskipun dengan konteks kaitan kata “gelap - terang” yang sebenarnya berbeda, beberapa “oknum” tokoh ternama merasa tersinggung dengan kritikan #IndonesiaGelap. Dengan segera, mereka itu memproduksi serangan balik dengan tagar #IndonesiaTerang. Salah kaprah berkata-kata ini bahkan menghasilkan (re)aksi penerangan dari pihak seseorang yang dulu juga aktivis orang muda dan sekarang kebetulan berstatus Menteri Kehutanan.  Raja Juli Antoni yang dulu salah satu tokoh PSI, dibantu para buzzer pendukung memproduksi #IndonesiaTerang (Tempo, 26 Februari 2025) demi melawan kalangan muda Indonesia, mahasiswa BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indoinesia) khususnya.

Perlu ditambahkan, penamaan "gelap" atau "terang" dalam sejarah Indonesia terkait dengan jejak langkah masa lalu dari Hindia Belanda dan masa kini dari Indonesia. Di masa lalu, "gelap" menunjuk pada kebodohan dan kemiskinan yang melanda seluruh rakyat bumiputera. Sementara "terang" dilihat sebagai "kemajuan" yang menjadi cahaya peradaban dan pendidikan sekolah modern gaya barat untuk menerangi kehidupan rakyat pada umumnya (Shiraishi 1997, hlm. 79).

Namun, ‘terang” yang berpuncak pada masa perjuangan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949) tidak hanya bermakna memberi sinar, seperti proses dari peristiwa biasa-biasa saja dari hari malam menuju fajar menyingsing, atau matahari terbit demi menjadi merdeka. Aksi dan gerakan mahasiswa dan pemoda pada umumnya adalah suatu hal dan peristiwa untuk secara radikal, “anarkis” dan revolusioner, meninggalkan dan menanggalkan “gelap” demi menuju sesuatu hal atau peristiwa perubahan yang baru, bebas dari kolonialisme dalam berbagai bentuk.

Dalam aksi mahasiswa yang mengusung tema “Indonesia Gelap", bahwa   beragam aksi demonstrasi itu menunjukkan rasa dan pengalaman gelisah yang mendalam akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, ketidak-adilan legal dan sosial, dan pengkerdilan demokratisasi (seperti terjanji dalam Reformasi 1998) dalam kehidupan sehari-hari rakyat. Seruan #IndonesiaGelap berangkat dari rasa GELISAH sejenis yang dialami para pemoeda pejuang dan tokoh-tokoh revolusioner, radikal atau anarki(s) seperti dialami Sutan Sjahrir - dkk. Seperti Bung Karno, Hatta, Amir Sjarifuddin, dll. pada akhir 1945. Kata GELISAH, sebenarnya dalam bahasa Inggris mempunyai gaung sebagai: anxious (cemas), trembling (gemetar), unmoored (tanpa pegangan), expectant (menanti-nanti) ... mengingat ada “sesuatu sedang menjelang.” (Benedict Anderson 2015, hlm.188).


Sumber: tempo.com

Maka menjadi hal menarik untuk jeli mencerdasi komentar Luhut Binsar Pandjaitan  - saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional dan Penasihat Khusus Presiden urusan Investasi – ketika melawan  pernyataan para mahasiswa pendukung “Indonesia Gelap.” Seturut kata-kata beliau: “Kalau ada yang bilang Indonesia Gelap, yang gelap kau, bukan Indonesia”. Itulah kata-kata Bang Luhut Panjaitan yang juga dikenal sebagai “teman dekat” mantan presiden dua periode asal Solo. Tanggapan Bang Luhut Panjaitan terhadap aksi dan gerakan  Aliansi BEM SI dikatakan dalam acara Indonesia Economic Summit 2025 di Jakarta, 18 Februari 2025. Sementara demo #IndonesiaGelap itu sendiri oleh BEM SI berlangsung satu hari sebelumnya, 17 Februari 2025, di sekitaran “Patung Kuda, Monas” (baca: seni patung Arjuna Wijaya berdasar adegan perang hebat dalam mitos wayang Mahabarata -Bharatayudha).

Ketika ikut merayakan peringatan 100 tahun kelahiran Bung Karno, Siegel mengatakan bahwa beberapa penguasa dan/atau pejabat Indonesia masih banyak yang berbau rejim Orde Baru karena suka menggunakan “bahasa kosong” (Shiraishi 2001, hlm. 194). Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup pada pemerintahan rejim Orde Baru pernah mengeluh karena ke mana pun ia berkunjung di Amerika – awal tahun 2000 – banyak orang di Amerika Serikat bertanya kepadanya tentang Timtim. Orang-orang di Amerika tidak memahami bahwa sebenarnya, ujar mantan menteri itu, “Kami tidak tertarik pada Timor”. Pernyataan seperti itu tidak kurang membuat para pendengar di Amerika heran dengan maksud pernyataan tersebut?

James Siegel, antropolog, yang banyak melakukan penelitian di Indonesia, juga tentang Solo (tahun awal 1980an) dan terbit dalam buku Solo in the New Order (1986), menanggapi kata-kata Emil Salim tersebut. Siegel mengatakan, bahasa kediktatoran seperti yang biasa diucapkan Hitler adalah kebohongan. Bahasa Orde Baru (Orba) dan bahasa Orba Baru ialah mengatakan apa yang benar – bukan kebohongan – tetapi sekaligus mengabaikan akibat-akibatnya (majalah Kebudayaan, Basis (2001)). Siegel menambahkan, bahwa Bung Karno disebut sebagai “Penyambung lidah rakyat” karena beliau “memang didengarkan oleh orang-orang yang merasa, sesudahnya, bahwa ia (Sukarno) berbicara untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Hal ini, artinya, “Bung Karno mengatakan apa yang memang dipikirkan oleh rakyat.” Sementara itu, dewasa ini orang-orang yang bersedia “mengemban amanat rakyat” tidak kurang. Akan tetapi, tidak mudah lagi menemukan orang-orang yang merasa kepentingannya disuarakan. Dan justru orang-orang yang langka seperti itulah yang dibuang dari pikiran beberapa dari mereka – pejabat legislatif judikatif dan eksekutif - yang menganggap diri sebagai “pengemban amanat rakyat.”


Sumber: Kompas (10 dan 11 Maret 2025)
Sebagaimana ditampilkan oleh halaman muka kompas yang mewakili imagined communities

Bahwa “Indonesia Gelap” tidak benar - menurut Luhut Panjaitan yang juga bukan diktator - bukanlah kata-kata bohong. Luhut mengatakan sesuatu yang benar, hanya kata-kata beliau sekaligus mengabaikan akibat-akibatnya. Silakan pembaca budiman memandang tampilan tiga halaman muka Kompas (20 Februari, 10 & 11 Maret 2025) diatas yang menciptakan komunitas terbayangkan (imagined communities) yang secara nasionalis ikut merasa bahwa Indonesia Gelap memang benar adanya. SKH Kompas menggunakan selama ini, slogan “Amanat Hati Nurani Rakyat.”

Tambah lagi, hanya berjarak satu minggu: seperti dipertanyakan oleh Presiden RI Prabowo Subianto -yang pernah memakai gelar “Macan Asia” ketika berkampanye dalam Pilpres 2019-2024 - bertepatan acara Kongres ke-6 Partai Demokrat belum lama ini (Kompas.com, 25 Februari 2025), menyempatkan diri berpidato dengan kata-kata berikut ini: "Indonesia di atas Jepang, di atas Inggris, di atas Prancis. Kok Indonesia gelap?", bahasa (si)apakah "Indonesia Gelap"?

Dalam konteks ini, adalah baik untuk menyimak dan membuat kajian banding budaya dari apa yang sebelum tahun 1942 (masa pendudukan 1942-1945 rejim militer Jepang) menjadi cita-cita Sukarno dan para tokoh pemoeda kawan-kawannya yang berbicara tentang Indonesia Merdeka. Tokoh nasionalis seperti dr. Soetomo lebih membayangkan tentang Indonesia “Mulia” daripada “Merdeka”. Benedict Anderson (2000, hlm 556) menjelaskannya sebagai berikut.  Merdeka, sudah barang tentu berimplikasi pada tujuan-tujuan politik yang lebih radikal. Kata “Merdeka” lebih dihargai dalam Bahasa Indonesia atau “Melayu revolusioner”, tetapi memiliki sedikit gaung dalam bahasa dan kebudayaan Jawa. “Mulia” justru kebalikannya. Dalam penggalan-penggalan kenang-kenangan biografi dr. Soetomo, pembaca budiman dapat melihat bahwa mulia secara alami berkesuaian dengan kewajiban, yang terasa dalam arti tertentu justru kebalikan dari kemerdekaan.

Maka dari itu, jangan sampai “perang narasi” gelap – terang, sekadar menjadi lelucon - ketika rakyat apatis dan sengaja dibikin “bosan” hingga lebih terperdaya oleh pesona (politik) kapitalisme global yang disokong oleh teknologi dan industri konsumtif hiburan, fashion, dll. Industri dan teknologi informasi dan komunikasi digital cenderung berkampanye secara ringan-ringan saja untuk kemudian menyatakan "Indonesia tidak gelap-gelap amat", sebagaimana disampaikan Jaya Suprana (Kompas.com, 26 Februari 2025).

Sementara SKH Kompas yang juga secara reguler menguat lelucon kartun dengan tokoh Panji Koming, Timun, dan Pak Nono berikut ini tidaklah sama selalu dengan Jaya Suprana (Tokoh Humoris Indonesia). Yang berkomentar tentang perang narasi gelap/terang seperti di atas dengan pernyataan ringan-ringan saja tidak gelap-gelap amat. Perlu diketahui Jaya Suprana dengan adiknya punya industri “lucu-lucu” (Joger di Denpasar Bali)

Padahal, jika ditelisik lebih dalam lagi -dalam bahasa sastra atau puisi para ahli ilmu falak Kasdim/Chaldea, Timur Tengah- gelap dan terang adalah bagian dari kodrat alam dengan semesta tata surya di bumi. Tata surya yang jika dipandang dari kejauhan dan dengan keterbatasan indera manusiawi - memungkinkan memberi ketakjuban sebuah pemandangan (scene, adegan) dan pandangan (skenario, lakon) imajinasi indah tentang bintang-bintang yang bergerak kalap ke sana kemari tanpa saling bertabrakan karena adanya kekuatan medan gravitasi (Anderson 2015, hlm. 1).

 

Catatan Akhir

Terima kasih untuk jasa besar dua publikasi media cetak -  Kompas dan Tempo -  sebagaimana kami muat dalam web-page ini - yang sangat membantu memberi “cahaya terang” untuk kejelasan tentang gagasan bahwa media sosial (cetak) senantiasa mampu menyediakan bagi  masyarakat pembaca negara bangsa Indonesia - dari “Sabang sampai Merauke”- sebuah pengalaman nasionalisme R.I. Sebuah pengalaman berulang dan berkelanjutan tentang hal  yang disebut “komunitas-komunitas  nasional terbayangkan (Imagined national communities). Komunitas-komunitas termaksud yang seturut Ben Anderson didefinisikan sebagai: "It is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellow-members, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their communion.” (bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun (misalnya para pembaca Kompas dan Tempo) tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka)

Beragam berita, gambar dan foto dari segala penjuru tanah air dan luar-negeri di halaman muka Kompas dan sampul majalah Tempo di atas, menjadi bukti penting demi menghadirkan “kenyataan” ekonomi sosial-politik yang diterima dalam  benak kepala warga “komunitas-komunitas nasional terbayangkan” untuk negara bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini sedang “tidak baik-baik saja” -  #IndonesiaGelap!


Sumber: Kompas 23 Februari 2025 & 19 Maret 2025

 

Bacaan Acuan

Anderson, Benedict

2000  “Saat Kelam Saat Gemilang Trasposisi Pada Pemikiran Nasionalis Indonesia Awal,” dalam Kuasa Kata. Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata Bangsa

2000   Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar

2015  Di Bawah Tiga Bendera. Anarkisme Global dan Imajinasi Anti Kolonial. Serpong, Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Siegel, James T.

1986    Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City. Princeton, NJ: Princeton University Press.

2001  “Yang Hilang dari Zaman Bung Karno” dalam Basis No. 03-04 Tahun ke-50
             Maret-April.

Shiraishi, Saya Sasaki

2001  Pahlawan-pahlawan Belia. Keluarga Indonesia dalam Politik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Shiraishi, Takashi

1997  Zaman Bergerak. Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Penerjemah: Hilmar Farid. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti: Marjin Kiri.