Harkitnas a t a w a Hari Kebangkitan Nasional - S E J A R A H S I / A P A?

Harian nasional Kompas (21 Mei 2025) dengan mantra “Hati Nurani Rakyat” menulis atau menyurat sembari memuat foto gedung tempat Kongres Pertama Budi Utomo (BU) yang berlangsung di Jogja tahun 1908. Sejak peristiwa bersejarah di masa silam itu, Indonesia merayakan apa yang diistilahkan sebagai Harkitnas setiap tanggal 20 Mei. Gedung itu dahulu berfungsi sebagai Kweekschool Voor Inlandsche Onderwizen, atau sekolah untuk mendidik guru Inlander. Sesudah beberapa kali direnovasi, masa kini, gedung itu dipakai sebagai SMA Negeri 11 Jogja, masih terawat baik, dan terletak cukup dekat dengan salah satu kampus “bintang lima” UGM, tidak jauh dari sebuah hotel berbintang lima dan salah satu restoran steak bintang lima terbaik di Jogja. Foto dan berita Kompas tersebut masih menambahkan bahwa Harkitnas “menjadi tonggak awal pergerakan menuju kemerdekaan nasional.”
Seorang peneliti kesusateraan klasik Jawa, Nancy Florida, memberi contoh bahwa peneltian dia tidak sekedar memahami dengan seksama tulisan atau suratan (writing) masa silam, tetapi juga mengungkap bahwa membaca karya sastra termaksud adalah berguna sebagai guratan (inscribing) suatu masa menjelang; yang juga bermakna sebagai nubuat (prophecy). Maka, mungkin baik kalau pembaca budiman menjadi ikut jeli dancerdas untuk memahami: tepatkah jika Harkitnas 20 Mei adalah perayaan bersejarah tentang nasionalisme negara bangsa Indonesia?
Ben Anderson (2000, hlm. 556), sempat menulis bahwa tuntutan, cita-cita, harapan atau bahkan mungkin sebuah “nubuat” dari dokter Soetomo melalui BU sekitar tahun 1908 tersebut adalah demi “Indonesia Mulia”. Dan patut dicermati bahwa lagu (kebangsaan) Indonesia saat itu mempunyai bunyi syair “Indonesia Moelia,” bukan “Indonesia Raya” seperti sekarang ini. Boleh dikatakan, Harkitnas tidak, atau belum, menggurat sebuah “nubuat” demi Indonesia Merdeka.
Bahkan, gagasan Indonesia Moelia juga diibaratkan bagai sekelompok pemain gamelan - Orkestra Jawa - di mana mereka menjadi penabuh beragam alat musik tradisional Jawa (gamelan) – yang dalam arti tertentu - tanpa memerlukan seorang pemimpin, dirigen atawa konduktor seperti dalam Orkestra Barat. Kesenian gamelan cukup jika para pemain menyimak dengan taat bunyi kendang sebagai isyarat musikal dari seorang pengendang yang terlatih.
Gagasan Indonesia Merdeka (1945) membutuhkan waktu hampir empat puluh tahun sesudah pernyataan Indonesia Moelia (1908). Tentu saja ada peristiwa hebat ketika tahun 1928 para pemoeda Indonesia menegaskan pilihan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan - lingua franca - milik bangsa (nation) untuk banyak ragam sukubangsa “von Sabang tot Merauke” warisan kolonialisme Hindia Belanda (Anderson, 2000, hlm. 420).
Indonesia Merdeka sesungguhnya bukanlah berdasar proses seperti seseorang yang sedang tidur dalam kegelapan malam dan bangkit atau bangun tidur menyongsong terbitnya terang fajar matahari di pagi hari. Dan dengan demikian menjadi sadar diri bahwa boleh ikut menjadi “moelia” juga. Indonesia Merdeka adalah aksi juang dan gerakan revoloesioner - bahkan, mungkin, anarkis - dari para pemoeda negara bangsa Indonesia ketika menghadapi “Zaman Edan” pada masa kolonialisme (Anderson, 2018)
Karena itulah, Soetomo dan rekan-rekan BU sudah merasa moelia ketika dapat menyambut terang fajar ketika merasa (juga) mampu meneruskan kenang-kenangan dari leluhur atawa nenek-moyang mereka; bagai menemukan kembali kemoeliaan “ratna mutu manikam” yang perlu diwariskan ke anak cucu.
Para peneliti dan penulis sejarah, mulai meneliti dengan pendekatan “Sejarah Lisan” (Oral History). Sejarah lisan mengusung gagasan tentang mendesak dan pentingnya mengungkap dan memaparkan “sejarah ingatan” “rakyat kecil” atau masyarakat pada umumnya (Portelli, 1991)
Contohnya, para perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga di keluarga-keluarga Barat dan asing lainnya yang pernah diteliti oleh Ann Stoler (1996) hanya dianggap tinggal dalam “kebodohan” selamanya, tanpa mengalami perubahan. Padahal melalui merekalah perubahan gaya hidup, termasuk penyebarluasan masakan Barat, Cina, atau Jepang ke dalam masyarakat dapat terjadi melalui keluarga atau juga secara komersial. Absennya perempuan dalam historiografi Indonesia inilah yang semestinya diberi perhatian telah ikut menggurat masa yang menjelang. Paparan itu menjadi salah satu aksi melawan hegemoni budaya yang bising berbunyi history without people, (sejarah tanpa memperhitungkan rakyat) atau bahkan people without history (Rakyat dianggap tak memerlukan sejarah).
Keuntungan penelitian dengan memanfaatkan sejarah lisan (oral history) dalam mengumpulkan data dan arsip dari peristiwa yang silam, tidak mensyaratkan para pelaku dan saksi peristiwa yang diteliti tahu bagaimana membaca dan menulis. Sebagaimana diteliti dan diterbitkan oleh JaRI (Jaringan Relawan Independen) pada buku yang mutakhir dalam konteks Indonesia; Merdeka dari Kekerasan Belajar dari Pengalaman (Koesma, 2025). Para pakar sejarah lisan dapat memperoleh informasi langsung dari sumber pertama masyarakat; dan dengan demikian membantu memudahkan untuk mengumpulkan dan menggaungkan informasi yang diperoleh.
Beragam sumber sejarah lisan sesungguhnya mengungkap tidak hanya apa yang dikerjakan masyarakat; tetapi juga yang masyarakat ingin melakukan apa yang mereka percaya, atau yakini, ketika di masa silam mereka melakukan tindakan tertentu. Juga, apa yang pada saat itu dan di tempat tertentu itu, sedang mereka pikir/pahami tentang apa yang telah mereka perbuat (Thompson, 2000).
Bukan hanya pendekatan Oral History, seorang antropolog pemerhati masyarakat dan kebudayaan Indonesia modern, juga mementingkan pendekatan etnografis. Berkaitan dengan sisi kekejian Peristiwa (Reformasi) Mei 1998, misalnya, Siegel (2008) mengungkap bahwa peristiwa keji termaksud, khususnya terhadap WNI keturunan Tionghoa, dilatar-belakangi - dalam arti tertentu sebagai akibat rekayasa politik sejarah penguasa Hindia Belanda - ketakutan antar golongan sosial yaitu Kelas Menengah terhadap Kelas Bawah, massa rakyat di Jakarta.
Dengan demikian para pengguna atau pembaca sejarah lisan dapat memahami mengapa dan bagaimana masyarakat tertentu - secara kreatif dan istimewa - mengandalkan diri pada berita tidak resmi, kabar burung, dll. Yang sejenisnya. Ingatan berdasar sejarah lisan akan lebih bercerita kepada para pembaca tentang maknanya, daripada tentang “asli” atau “palsu” peristiwa yang pernah terjadi di masa silam. Sumber-sumber lisan tidak akan mengatakan kepada peneliti maupun pembaca tentang rincian hal-hal sebenarnya yang diperbuat tokoh tertentu - apalagi tokoh yang bersifat dan bersikap diktator otoriter. Tetapi cerita (& cita-cita) lisan tersebut amat berguna untuk mengatakan atau mengungkapkan kepada kita/para pembaca apa yang sebenarnya ada dalam benak/pikiran rakyat dan masyarakat.
Maka tak heran jika sehari sebelum peringatan Harkitnas tanggal 20 Mei 2025, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) mengeluarkan pernyataan penolakan terhadap proyek penulisan ulang sejarah dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi X DPR (Kompas.id, 19 Mei 2025). Proyek itu digagas oleh Kementerian dan Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, yang melibatkan 120 ahli sejarah, dan dengan pertimbangan bahwa ada fakta-fakta lain atau terbaru selain yang telah ditulis selama ini.
Penolakan AKSI disampaikan dalam sebuah manifesto yang menilai bahwa proyek itu tidak transparan dan terburu-buru. Sebab proyek itu mirip dengan: (1) rekayasa masa lalu dengan tafsir tunggal, (2) menggunakan mandat sejarah untuk menegakkan suatu tatanan politik atau orde tertentu, (3) spektrum politiknya berbingkai paham otoriterianisme dan totaliterianisme, (4) menghilangkan kerakyatan atau suara rakyat, dan (5) bertujuan memuliakan kekuasaan melalui penggelapan sejarah.
Bung Karno, dalam pidato kenegaraan 1963 “Genta Suara Revolusi (GESURI) di Senayan Jakarta, memperkenalkan diri sebagai seorang “Penyambung Lidah Rakyat,” Artinya, Presiden Sukarno “memang didengarkan oleh orang-orang yang merasa, sesudahnya, bahwa dia (Sukarno) berbicara untuk menyuarakan kepentingan rakyat, artinya Bung Karno mengatakan apa yang memang dipikirkan oleh rakyat.” Masalahnya, masa kini, orang yang bersedia mengemban amanat rakyat tidak kurang. Jakarta menjadi lokasi dari lembaga yang dinamai DPRakyat, MPRakyat, dll. Akan tetapi, kini, adalah menjadi sebuah kelangkaan untuk menemukan orang-orang yang merasa kepentingannya disuarakan. Dan justru orang-orang yang langka seperti itulah yang dibuang dari pikiran para pemimpin - akhir-akhir ini (Siegel, 2001).
Aksi dan gerakan revolusioner kemerdekaan RI (1945-1949) yang diperjuangkan kaum moeda nasionalis Indonesia telah disurat dan digurat oleh Benedict Anderson (1936-2015) yang berharap (baca: bernubuat) bahwa nasionalisme negara bangsa Indonesia adalah sebuah “proyek bersama” di mana saja dan kapan saja:
“Nasionalisme memerlukan etika dan sikap rasa malu yang dihayati warga komunitas terbayangkan dengan tidak bersikap munafik dan pura-pura tidak melihat segala yang busuk, tidak mendengar segala tindakan jahat, dan tidak bersuara kalau terjadi ketidak-adil di sekitarnya (Anderson, 1999).
Bahan bacaan acuan:
Anderson, Benedict
2018 Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Ithaca N.Y: Cornell University Press, 1972. Terjemahan dari “Berbahasa”: Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Serpong Tangsel: CV Marjin Kiri
2000 “Saat Kelam Saat Gemilang: Transposisi pada Pemikiran Nasionalis Indonesia”, dalam Kuasa Kata. Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Yogyakarta: MataBangsa
1999 “Nasionalisme Indonesia Kini dan Masa Depan”. Jakarta: Anjing Galak. Terjemahan dari “Indonesian Nationalism Today and in The Future,” dalam New Left Review I/235 May-June 1999 dan dimuat dalam Indonesia 67, April 1999
Florida, Nancy K.
2003 Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang: sejarah sebagai nubuat di Jawa masa kolonial. Yogyakarta: Bentang Budaya. Terjemahan dari Writing the Past, Inscribing the Future. History as Prophecy in Colonial Java. Durham: Duke University Press, 1995
Portelli, Alessandro
1991 The Death of Luigi Trastulli and Other Stories: Form and Meaning in Oral History. Albany, NY: SUNY Press
Koesma, Rismiyati E., Nelwan, Ilsa S.L, Abidin, F. A., & Nelwan, Peter R.
2025 Merdeka dari kekerasan: Belajar dari pengalaman. Yogyakarta: USD Press.
Siegel, James T.
2001 “Yang Hilang Dari Zaman Bung Karno,” Basis, Maret-April. H.18-19. Diterjemahkan dari J. Siegel, “Kolom,” Indonesia.no.69, April 2000. Cornell Modern Indonesian Project, Ithaca, New York
2008 “Pikiran-Pikiran Awal Tentang Kekerasan 13-14 Mei 1998 Di Jakarta,” dalam Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia. Yogyakarta: Kanisius- Lembaga Studi Realino. Terjemahan dari Early Thoughts on the Violence of May 13 and 14, 1998 in Jakarta Indonesia no. 66, Oktober 1998.
Stoler, Ann
1996 “A Sentimental Education. Native Servants and the Cultivation of European Children in the Netherlands Indies” dalam Laurie J. Sears, (editor), Fantasizing the Feminine in Indonesia, Durham: Duke University Press, 1996
Thompson, Paul
2000 The Voice of The Past. Oral History. Oxford & New York: Oxford University Press