MERAYAKAN BULAN JUNI 2024 MENGGURAT MASA MENJELANG (SI)APA?

MERAYAKAN BULAN JUNI 2024 MENGGURAT MASA MENJELANG (SI)APA?

Sejak ditetapkan sebagai hari libur nasional, 1 Juni menjadi momen yang penting bagi sejumlah lembaga atau organisasi, untuk memperingati sosok Bung Karno (BK). Sosok yang dikenal sebagai salah satu pendiri bangsa ini memproklamirkan dirinya dalam Pidato HUT RI "Gesuri" (Genta Suara Revolusi) pada 17 Agustus 1963 sebagai Penyambung Lidah Rakyat. Masuk akal jika pada setiap tahun PDIP selalu menyelenggarakan berbagai macam kegiatan untuk mendukung peringatan 1 Juni. Sebuah peringatan untuk eling - dengan sikap waspada, jeli dan cerdas - bukan sekedar untuk kelingan.

Termasuk di tahun 2024 ini, PDIP, melalui Bendahara umumnya, Olly Dondokambey, yang juga adalah Gubernur Sulawesi Utara, menetapkan bulan Juni sebagai bulan Bung Karno (Tempo, 1 Juni 2024). Dengan penetapan itu, maka segenap elemen dalam partai berlambang banteng moncong putih mendasari setiap kegiatan pada spirit dari pidato BK pada 1 Juni 1945. Bahkan pidato itu dinyatakan bukan hanya sebagai falsafah, landasan dan pemersatu, tetapi juga jiwa bangsa.

Sebagai kesempatan terakhir dalam jabatan kekuasaan presidential, Jokowi (Joko Widodo), menyempatkan diri memimpin upacara kePancasilaan pada 1 Juni 2024 di Lapangan Garuda Pertamina Hulu Rokan, Dumai, Riau. Usai upacara, Jokowi memberi apresiasi terhadap salah satu blok migas terbesar dan paling produktif sepanjang sejarah perminyakan Indonesia. Blok Rokan selama ini (97 tahun) dikelola terutama oleh dua perusahaan migas asal Amerika Serikat, yaitu Caltex dan Chevron. Sekarang ini, di bawah kerjasama dengan Pertamina, menurut kata-kata media sosial, justru dapat berkembang lebih pesat. Apresiasi Jokowi dengan klaim bahwa Blok Rokan sebagai andalan pasokan minyak Indonesia saat ini, nampaknya, kata-kata tersebut bukanlah bahasa kosong belaka.

Bahasa kosong yang di masa kekuasaan rejim militer Orde Barunya Suharto begitu efektif dan operatif untuk menjalankan hasrat berkuasanya secara tersamar - dan nyamari. Contoh, Suharto lebih suka dan mengutamakan perayaan Hari Kesaktian Pancasila pada setiap 1 Oktober; daripada Hari Kelahiran Pancasila (1 Juni) yang mudah dan sering dikait-kaitkan dengan sosok Bung Karno itu.

Pada tahun 1980, saat berkunjung ke Riau, Suharto yang punya dukungan rezim militer Orde Baru saat itu merasa begitu jengkel dan marah dengan kelompok Petisi 50 (Iswara N Raditya, "Petisi 50: Menggugat Soeharto yang Menyalahgunakan Pancasila", Tirto.id, 5 Mei 2020). Seperti diberitakan oleh media massa, bahwa dalam rapat pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Pekanbaru, Riau, tanggal 27 Maret 1980, Presiden Soeharto berkata, "Saya meminta ABRI mendukung Golkar dalam pemilihan umum.” Dengan suara khasnya, Soeharto mengucapkan kalimat itu dengan nada berat dan mendalam, kalem, tetapi intimidatif. Pada kesempatan yang sama, presiden juga menyinggung soal dasar negara Pancasila yang di masa lalu kerap dirongrong oleh ideologi-ideologi lain, juga partai-partai politik.

Tahun 1989, lagi-lagi, tak heran jika Presiden Soeharto yang sangat akrab dengan ekslusifisme bahasa Jawa, sempat mengeluarkan ancaman keras dengan satu kata (kasar) bahasa Jawa “gebuk” kepada siapapun yang bertindak inkonstitusional pada tahun 1989. Ancaman ini diucapkan dalam pesawat seusai melawat ke Beograd, Yugoslavia, dan Uni Sovyet, dengan kata-kata: "Biar jenderal atau menteri yang bertindak inkonstitusional, akan saya gebuk!" (Editor No. 04, 30 September 1989), bukanlah sekadar kebohongan yang umumnya menjadi bahasa kediktatoran.

Maka, menjadi menarik untuk mencermati apakah 1 Juni yang setiap tahun telah dinobatkan sebagai peringatan nasional akan BK -  e l i n g  dengan salah satu pelopor penggerak Panca Sila - sejak tahun 2016, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24, akan punya nasib menjadi sekedar bahasa kosong atau bukan?! Dalam konteks ini, sebuah Keppres tentang 1 Juni yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai bahasa keterusterangan, namun menjadi bahasa kosong jika segera diikuti pengabaian pada konsekuensi-konsekuensinya. Dengan kata lain, mirip dengan beberapa bahasa surat kabar di Indonesia yang sama sekali tanpa stabilitas berpendapat, sehingga orang dapat dengan mudah membalikkan punggung terhadap kekejaman-kekejaman (Siegel, 2001). Itulah mengapa pandangan terhadap peristiwa bersejarah seperti 1 Juni hanya bersifat sementara alias tidak awet kekar, sehingga kerap diumpamakan dengan "esuk dele, sore tempe" (pagi masih kedelai, sore sudah jadi tempe).

Benarkah demikian? Lihat saja pada bahasa sebagian besar para jurnalis masa kini yang adalah kosong. Apalagi di media berbasis online (darling), yang lebih cenderung mengutamakan "click bait" daripada isi beritanya. Mirip seperti iklan yang tidak bohong sebenarnya, tetapi hanya berbahasa kosong belaka. Salahkah? Tentu saja tidak. Karena bahasa iklan adalah retorika yang ditujukan untuk membujuk sebanyak mungkin orang agar menjadi konsumen.

Di Solo, wartawan setempat mengenal bawa Jokowi adalah sosok pemimpin yang “media darling.” Ketika pidato di hari lahir Pancasila 1 Juni di industri migas Rokan Hulu, Riau, yang memuji-muji dan bangga dengan keindonesiaannya, ingatkah, atawa elingkah Jokowi ketika membeli lukisan Djoko Pekik “Petruk dadi Ratu, Semar kusirnya.” Lukisan itu menggambarkan - dengan keterbayangannya - si “Petruk” yang turun dari kereta kerajaan, dan memilih jalan kaki blusukan di tengah-tengah rakyat kecil di pinggir(an) jalan.

Cukup banyak warga negara bangsa Indonesia yang akrab dengan cerita (dan cita-cita) mitologi pewayangan Jawa; dan tahu bahwa lakon tidak resmi “Ratu dadi Petruk” sama populernya di kalangan rakyat kecil. Tambah lagi, katanya, lukisan Petruk blusukan tersebut akan dipamer-pamerkan di IKN (Ibu Kota Nusantara) di Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur. Konon, ibukota RI yang dipindahkan dari Jakarta ke IKN  - supaya tidak “Jawa sentrisme” dan demi semakin kuatnya keterbayangankannya komunitas nasionalis, akan diresmikan penggunaannya bertepatan dengan perayaan 17 Agustusan 2024 mendatang.  

Para pembaca budiman masih ingat (baca: kelingan), atau malah ikut menjadi jeli dan cerdas (baca: eling), pada tanggal 11 Desember 2022 di kota Solo, Jokowi (bersama Iriana) dan Kaesang (bersama Erina) dengan kemegahan mempesonakan - sebagaimana disebar-luaskan media sosial modern - sempat menaiki kereta kencana sejenis yang dipakai raja-raja Jawa.

Tentu, beda zaman dan persoalan tetap perlu dikaji ulang agar tidak sekadar menjadi romantisme sejarah. Dengan kata lain, di masa kini media memang masih menjadi "penyambung lidah rakyat", namun pada saat dan tempat yang tepat juga mesti jeli dan cermat terhadap perkembangan teknologi informasi. Dalam konteks ini, apa yang sedang viral dengan teknologi podcast, seperti dilakukan oleh Denny Siregar, patut dipelajari dengan hati-hati. Sebab teknologi ibarat pedang bermata dua: dapat menyebarluaskan kabar apapun juga, namun hanya yang menyenangkan atau menghibur belaka; juga dapat mengusung berkat atau malah laknat!?

Jadi, sejarahnya (si)apakah 1 Juni yang diperingati secara nasional itu? Sejarah pihak-pihak yang sedang berkuasa dan begitu antusias dengan lukisan "Petruk Jadi Ratu, Semar Kusirnya" (2019) hasil karya mendiang Djoko Pekik? Atau, justru sejarah dari mereka yang selalu disalami dan diberi bantuan, namun tidak tahu akan kepalsuan dari dunia kekuasaan yang kerap dilakonkan dalam dunia pewayangan?