Nasionalisme Komunitas Terbayangkan d(ar)i ASEAN Paragames Solo 2022
Sumber : https://www.antaranews.com/berita/3028593/asean-para-games-solo-perjuangan-untuk-kesetaraan
Bukan kebetulan bahwa momen Asean Para Games 2022 yang diikuti oleh 10 negara di Asia Tenggara yaitu Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, Laos, Timor Leste, Vietnam, Kamboja, Brunei Darussalam, dan Myanmar dislenggarakan di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Kota yang dikenal juga dengan sebutan Solo itu menjadi salah satu "tuan rumah", selain Kota Semarang, bagi para olahragawan yang berkemampuan berbeda atau difabel (different ability) se-Asia Tenggara.
Di bawah kepemimpinan "Mas Wali", Gibran Rakabuming Raka, yang anak pertamanya selalu menjadi sorotan media nasional ketika diajak berkunjung oleh kakeknya ke beberapa acara kepresidenan semakin mendapatkan saat dan tempat yang tepat untuk menjadi poros dari berbagai momen, termasuk olahraga, di tingkat mancanegara.
Sumber : https://www.ayosemarang.com/olahraga/pr-773012471/indonesia-jadi-tuan-rumah-asean-para-games-2022-lokasinya-di-solo
Maka masuk akal jika lagu “Bengawan Solo” yang diciptakan oleh Gesang menjadi lagu pembukaan (opening ceremony) dalam momen sebesar dan semegah itu serta didendangkan oleh penyanyi perempuan yang selalu berkalung ukulele, Endah Laras, dan penyanyi cilik difabel, Ardha Krisna, yang dulu dipopulerkan oleh penyanyi campursari ternama, Didi Kempot.
Bukan kebetulan juga lagu bengawan solo telah dinyanyikan dalam berbagai bahasa asing, salah satunya dalam bahasa korea yang dinyanyikan oleh Lee Jungpyo dengan petikan musik gayageum (Sumber : https://kumparan.com/korea-talks/merdunya-bengawan-solo-versi-korea-ini-1536679645364992173/full).
Sumber : https://www.voaindonesia.com/a/asean-para-games-2022-solo-jadi-lokasi/6664558.html
Momen-momen seperti itu tentu menjadi momentum untuk, selain mempromosikan Solo sebagai Kota Budaya dan Pariwisata, juga menunjukkan nasionalisme dari negara-bangsa yang telah berjuang selama 77 tahun untuk membangun hidup bersama dengan bahasa bersesama yang benar-benar nasionalis.
Penting untuk dicatat bahwa Solo yang masih “sedarah” dengan Jogja merupakan pasangan yang memiliki kekhasan masing-masing di mana Solo yang di masa lalu adalah Kota Revolusi, sementara Jogja adalah Ibukota Revolusi itu sendiri.
Maka tak heran jika Solo yang terkenal dengan Surakarta atau juga disebut Serangan Umum Empat Hari berlangsung pada tanggal 7 -10 Agustus 1949 di markas-markas Belanda dan berjarak lima bulan setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 di Jogja termasuk serangan-serangan umum sebelumnya pada 29 Desember 1948 dan 9 Januari 1949 yang menyerbu Hotel Merdeka (Sekarang Hotel Grand Inna Malioboro), mempunyai bahasa yang oleh Benedict Anderson (lihat, Kuasa-Kata. Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Yogyakarta: MataBangsa, 2000, hlm. 420) disebut sebagai pembentuk dari nasionalisme daripada nasionalisme yang membangun bahasa bersama.
Itulah mengapa, sejak Bung Karno dan Bung Hatta, bersama dengan para pemuda revolusioner, termasuk Bung Amir Sjarifuddin Harahap, memproklamirkan kemerdekaan republik ini, sulit untuk dibantah bahwa Republik Indonesia adalah negara-bangsa yang dibangun dengan landasan nasionalisme berdasar “komunitas-komunitas terbayang”-nya (lihat, Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang, Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 8).
Tentang nasionalisme macam ini, apa yang dikerjakan oleh Rusman Hardjawibaksa sebagai penari dalam pertunjukan Wayang Orang (WO) Sriwedari yang memainkan peran Gatot Kaca menarik untuk didalami lebih jauh lagi. Sebab dalam dunia pewayangan, Gatot Kaca dikenal sebagai sosok yang kerap disimbolkan dengan nasionalisme. Tak heran jika Bung Karno begitu mengidolakannya, termasuk memanggil Rusman yang kerap berperan sebagai Gatot Kaca untuk menari di Istana Negara pada tahun 1950-an. Bahkan patung Gatot Kaca yang diperankan oleh Rusman bersama dengan Pergiwa yang diperankan oleh Yohana Darsi Pudyorini pernah dijadikan simbol bersama bagi para seniman di Solo dan diletakkan di depan pendopo pertunjukan WO Sriwedari.
Sumber : https://www.jawapos.com/jpg-today/05/02/2018/usai-peluncuran-wali-kota-solo-tabrakkan-bus-gatotkaca-ke-pohon
Menarik bahwa dalam buku Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan yang ditulis oleh Bernhard Dahm (Jakarta : LP3ES, 1987) diungkapkan bagaimana Bung Karno diawal kemerdekaan merasa kesulitan untuk mencari simbol nasionalime bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan akhirnya ditemukanlah sosok Bima sebagai salah satu tokoh pewayangan yang dipilih sebagai simbol atau ingatan bersama yang efektif dan operatif tentang nasionalisme.
Sumber : https://regional.kompas.com/read/2022/05/21/175208578/bus-tingkat-werkudara-kota-solo-harga-tiket-rute-dan-cara-reservasi
Oleh sebab itu, melalui momen Asean Paragames 2022 ini, nasionalisme yang berakar pada komunitas-komunitas terbayang seperti dalam tokoh Gatot Kaca itu patut menjadi bahasa ingatan bersama yang mampu menggerakkan sesama yang lain untuk bersaksi dan beraksi atas nama kemerdekaan RI. Kemerdekaan yang diperjuangkan bukan dengan mengorbankan kepentingan pihak yang lain, melainkan yang pertama dan utama adalah mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Dalam salah satu kisah pewayangan terkenal, yakni Mahabharata, Gatot Kaca sendiri dikenal sebagai sosok yang memang dikorbankan dalam Perang Bharatayudha untuk menyelamatkan Arjuna dari serangan senjata sakti Karna. Pengorbanan Gatot Kaca ini menjadi tanda bahwa nasionalisme memang dibangun dari pembayangan akan kebersamaan yang meski tidak pernah bertemu, apalagi saling kenal dan bertegur sapa, namun tetap rela, jangankan melenyapkan nyawa orang lain, merenggut nyawanya sendiripun dilakukan, demi pembayangan yang serba terbatas itu(lihat, Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang, Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 11).
Dalam kontes ini, wayang memang mampu menjadi narasumber inspiratif untuk membangun nasionalisme yang “tidak sombong”, apalagi “menyerang-nyerang”, sebagaimana pernah diingatkan oleh Bung Karno, melainkan justru yang toleran, plural, dan tajam dengan menghargai dan mengakui adanya perbedaan. Karena itulah, Benedict Anderson pernah menunjukkan bahwa seorang anak yang kurus dan penyakitan boleh saja mengidolakan Gatot Kaca atau Wrekudara dan anak yang berbadan besar justru mengidolakan Arjuna (lihat Benedict Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Yogyakarta: Qalam, 2000, hlm. 48). Kesemuanya dihormati dan mempunyai kesempatan yang sama karena hal ini bukan suatu perlombaan, apalagi persaingan.
Sumber : https://www.tribunnews.com/sport/2022/08/04/asean-para-games-2022-raih-sembilan-emas-tim-blind-judo-indonesia-lampaui-target, https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4710748/aksi-jan-ethes-di-kejuaraan-taekwondo-sukses-sabet-medali-emas
Demikian halnya dengan aksi para olahragawan dalam ASEAN Paragames di atas sesungguhnya telah menjadi saksi dari perjuangan bersama untuk berkorban demi sesama yang lain. Sesama yang sebelumnya tak membayangkan bahwa para olahragawan yang tidak biasa-biasa itu mampu membuat Indonesia menjadi negara-bangsa yang rela berkorban demi sesama daripada mengorbankan yang lain. Inilah contoh dari nasionalisme Indonesia yang diperagakan oleh para olahragawan disabilitas dalam ajang ASEAN Para Games.
Masuk akal jika slogan dari logo HUT RI ke-77 yang diterjemahkan dari motto Presidensi G20 “Recover Together, Recover Stronger” (Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat) tersebar di seluruh Indonesia, termasuk di kota Solo dalam bentuk tulisan di tembok-tembok kampung (RT/ RW).
Hal ini menunjukkan bahwa slogan dan motto tersebut menjadi bahasa bersama yang digunakan untuk membangun semangat nasionalisme dari bawah.
Staf Litbang L.S.Realino