Manifestasi Nasionalisme Gejayan Memanggil

Manifestasi Nasionalisme Gejayan Memanggil
Salah satu peserta aksi Gejayan Memanggil Jilid II membawa termos minuman pada Senin (23/9/2019)

YB. Cahya Widiyanto, Ph.D

Menyimak opini berjudul “KORUPSI NASIONAL(isme)”  sangat menarik. Khas seperti tulisan yang lainnya oleh Budi Susanto SJ, opini kali ini ditulis dengan banyak diksi yang  simblik dan memancing  pYB embaca untuk membaca melebihi yang tertulis. Terdapat ide ide yang diparafrasekan dalam paragraf mengajak pembaca untuk berpikir dua tiga kali ke depan dan ke belakang.

Artikel tersebut mengawali diskursus tentang nasionalisme melalui kejadian politik (social) yang actual. Barangkali maksudnya adalah mengajak pembaca  membaca hal hal yang “dalam” dari hal hal yang “permukaan”. Peristiwa  demonstrasi  di gejayan yang diurai melalui Pernik Pernik tentang  slogan, dan ikon ikon lain yang terlihat dalam aksideminstrasi; kemudian  dari situ perbincangan soal kekuatan besar dibaliknya yaitu soal iamjinasi kolektif yang bekerja dalam segenap pegerakan  dan dinamika bebabgsa dan benegara: Nasionalisme.

Kalo aku ndak salah tafsir, artikel ini mengungapkan tentang bagaimana imajinasi, konsensus tentang kehidupan bersama yang disebut nasionalisme tebaa melalui  konten  dan ikon dalam  berbagai peristiwa politik  social  belakangan ini. Singkatnya  saya membaca bahwa artikel ini membayangkan bahwa  kata, tulisan  dan “konten” yang teramati dari  peristiwa  demonstrasi yang marak (contohnya “Gejalan Memanggil”) adalah  manifestasi dari  ide, imajinasi tentang nasionalisme para demonstran atau masa yang bergabung dalam aksi tersebut.

Aksi massa yang melibatkan isu soal kehidupan  politik di Indonesia bukan sekedar  sebuah cara dari berdemokrasi di negara yang mendaku demokratis; nanun lebih dari itu, apa yang terjadi, segala symbol kata dan gambar juga tulisan adalah  sebuah “kekuatan” yang menrasionalisasi terjadinya peristiwa peristiwa tersebut. Sloga, atribut, konten orasi, dlsb adalah sebuah “ asap” dari “api” yang sedang menyala.

Namun. artikel ini ditutup dengan kalimat  yang dikutif dari Pak BenA, “Berbahasa Indonesialah yang menumbuhkan nasionalisme ketimbang nasionalisme yang menjadikan terbentuknya bahasa Indonesia.( Kuasa Kata, 2000, h.420)”. Kurang lebih  kalimat penutup ini  menegaskan bahwa  yang sejatinya  terjadi adalah yang sebaliknya dari asumsi yang dikatakan sebelumnya di awal artikel ini, atau berbeda dengan asumsi yang diyakini banyak orang selama ini,  bahwa bukanlah nasionalisme, ide tentang  hidup bersam yang mencipta Bahasa (kata kata, symbol dll), tetapi bahasalah yang akhirnya menciptakan imajinasi  soal nasionalisme, soal konsep imajinasi  hidup bersama orang orang se-Indonesia.

Saya jadi teringat konsep psikologi emosi  James- Lange yang dikembangkan  dari Pak William James (1842 -, 1910) dan Carl Georg Lange ( 1834 –1900).Teori emosi ini termasuk teori kritis tentang emosi manusia.  Mereka berdua  telah mempertahankan dan menjelaskan tentang  teori kritis emosi. Dalam  hipotesanya yang sangat kontroversial pada saat itu (kira kira tahun 1927; Judul tulisannya  “The James-Lange Theory of Emotions: A Critical Examination and an Alternative Theory”; maaf naman  jurnalnya aku lupa) , mengatakan bahwa  Emosi adalah respon dari fisik, bukan sebaliknya. Emosi adalah respon  reaksi dari situasi fisik  (Physiological Response Pattern). Contohnya, orang lari baru kemudian takut. Jadi mungkin rasa takut itu justru terjadi karena  ia berlari; bukan karena takut makanya ia berlari. Seandainya  seseorang  melihat singa di depan kamarnya, dan tetep diam saja (tidak lari), maka  menurut hipotesa James Lange ini ia tidak akan mengalami emosi takut.