SI/APA (wakil) RAKYAT? BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA UI dan/atau POLITIKUS (gedung) DPRRI TERBAYANGKAN
Ada cara “BARU” atau, mungkin, cara “BA(r)U” untuk melakukan demo - unjuk rasa, bela rasa, aksi jalanan, dll - atau apapun juga namanya - yang dilakukan oleh kaum mahasiswa. Sekelompok mahasiswa BEM UI pada minggu ketiga bulan Maret 2023. melakukan aksi demo yang diawali dengan long march dari Lapangan FISIP UI. Tampak para mahasiswa membawa spanduk bertuliskan penolakan Perppu Cipta Kerja. Mereka berkumpul di Bundaran Makara, Kampus UI Depok. Mereka menyampaikan orasi tentang penolakan Perppu Cipta Kerja. Aksi demo tersebut bertajuk simbolik karena memanfaatkan keterbayangkannya peranan gedung Dewan Perwakilan Rakyat RI (selanjutnya: GDPRRI) yang pernah diduduki oleh mahasiswa dalam peristiwa Reformasi Mei 1998. (news.detikcom, 17 Maret 2023).
Selain itu BEM UI lewat unggahan akun Instagram melontarkan kritik kepada DPR yang mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi UU. BEM UI juga menambahkan sebuah akronim ba(r)u: DPR menjadi Dewan Perampok Rakyat. Kritik tersebut juga dilengkapi dengan sebuah meme video tentang Ketua DPR Puan Maharani dengan badan tikus yang keluar dari bangunan GDPRRI. Ketua BEM UI Melki Sedek Huang angkat bicara terkait unggahan medsos digital simbolik tersebut. Dia menyebut hal itu sebagai bentuk kemarahan BEM UI atas sikap DPR. (Sumber: Senayan Membela Puan dari Meme Badan Tikus BEM UI. Tim detikcom - detikNews. Jumat, 24 Mar 2023 04:07 WIB).
Dua bulan berikutnya, yang menjadi sasaran kritik BEMUI adalah Presiden RI, Jokowi. Huang dan kolega BEMUI menuduh - lewat akun Twitter-nya, @BEMUI_Official, Detikcom pada Senin (22/5/2023) - bahwa "Jokowi milik parpol, bukan milik rakyat."
Patut dicatat bahwa GDPRRI yang megah dan ikonik awalnya digagas dan mulai dibangun pada masa Pemerintahan Bung Karno pada 8 Maret tahun 1965, sebagai international political venues. Saat itu, Bung Karno juga tengah menggagas penyelenggaraan Conefo (Conference of the New Emerging Forces) di Jakarta. Sesuai permintaan Presiden Soekarno, kompleks bangunan political venues harus memiliki kepribadian khas Indonesia, tetapi juga sanggup menjawab tantangan zaman dan menampilkan keunggulan karya rancang bangun para teknisi Indonesia. Pembangunan selesai tahun 1983, tetapi Pak Harto merubah peruntukan asli pembangunan menjadi Gedung MPR/DPR RI. GDPPRI seperti sekarang ini adalah gedung yang diharapkan dapat berfungsi sebagai tempat persidangan para wakil rakyat untuk menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat. GDPRRI ini menjadi semakin “keramat” mengingat mahasiswa - termasuk BEMUI kekinian - karena gedung ini pernah “dikudeta” atau “diduduki” (occupied) oleh kaum mahasiswa dalam Peristiwa kondang Reformasi Mei 1998.
Tulisan etnofotografis berikut ini sangat berterima kasih kepada naskah tulisan Jim Siegel yang memberi komentar atau pendapat (akademis) tentang bagaimana sebaiknya - dan seperlunya - melihat atau memandang hasil fotografi. Apalagi kalau foto-foto termaksud sengaja disebar-luaskan melalui industri kapitalisme cetak atau medsos digital lainnya. Komentar Siegel termaksud ditujukan terhadap sebuah buku fotografi tentang masa lalu Jakarta yang dibuat oleh Scott Merrillees (pakar ekonomi dan dagang, lahir 1962); berjudul Batavia in Nineteenth Century Photographs. (Richmond, Surrey: Curzon Press, 2000).
Komentar Siegel terhadap fotografi Scott sangat membantu untuk memahami dengan cermat dan cerdas mengapa BEM UI ingat untuk tidak melupa bagaimana berkat jasa apa yang disebut teknologi GDPRRI dapat dieksploitasi dan direka-reka (engineered) demi kepentingan sepihak. Kepentingan menjadi “jimat” perjuangan revolusioner layaknya anggapan mahasiswa kekinian - khususnya sejak terjadinya Peristiwa Mei 1998.
Jimat, benda keramat, atau “senjata pusaka” yang dimanfaatkan BEM UI saat demo 6 Maret 2023 yaitu menyebar-luaskan video “Puan Tikus DPR..” Kesaktian atau sifat “mejik” Reformasi Mei 1998 adalah foto (ketika) pada suatu saat GDDPRRI di bulan Mei 1998 dipanjat dan diduduki oleh para demontrans mahasiwa-mahasiswi. Jadi, persis 25 tahun kemudian (1998-2023) video Tikus DPR membuat seolah-olah peristiwa Reformasi dari masa silam memberi legitmasi keramat bahwa Video Tikus itu baik-baik saja, sopan, tidak bikin rikuh atau malu pihak lain.
Melki Sedek Huang tentu saja tak mau kehilangan (kenang-kenangan atau suvenir) dari masa silam. Ketenaran dan bau harum aksi reformasi mahasiswa dalam perisitiwa masa silam Mei 1998. Masyarakat penonton (dan BEMUI atau UI) melihat aksi demo dengan perantaraan spanduk dan melihat (video Tikus); seakan membuat Huang berharap dan menduga bahwa para penonton (rakyat?!) yang - dianggap - tak dapat ikut merasakan dan (juga) tak mampu melihat hal-hal dan masalahnya yang sebenarnya. Rakyat diduga dan dianggap tidak tahu siapa/atau berkaitan dengan kerumitan hal dan masalah sekitar GDPRRI. Huang dkk. mengandaikan bahwa (hanya) pihak kalangan mahasiswa BEMUI yang paling tahu. Nampaknya, melalui berbagai demo dan khususnya video tikus termaksud, “rakyat” massal konsumen medsos kekinian - diharapankan - menjadi lebih sadar dan tahu apa yang terjadi selama ini di sekitaran kawasan Jembatan Semanggi seturut kamera medsos(!) BEMUI.
Menarik kalau kita memakai sebuah kata ajaib atau mujarab, “seandainya saja.” Boleh diduga, Melkisedek Huang - katanya kelahiran tahun 2000, di Pontianak - pada tahun 2023 ini masih aktif sebagai mahasiswa kekinian; usianya belum lewat seperempat abad. Pernyataan ini memberi gagasan keterbayangan bahwa kemungkinan besar saat dan tempat terjadi Reformasi Mei 1998 di sekitaran GDPRR, Huang belum lahir. Maka, demo bertajuk simbolik dan video meme berdasar visualisasi simbolik GDPRRI telah membuat Huang - dan kolega di BEMUI - akan lolos dari tuduhan publik bahwa dirinya seseorang yang tak tahu apa-apa tentang “Tikus DPR”
(Sumber foto dari theatlantic.com edisi 2 Maret 2023)
Maka, syukurlah bahwa ada bukti kalau Huang dkk yang beruniform “Jaket Kuning” memang nampak necis di berbagai koran Jakarta - hasil bidikan 6 Maret 2023 - yang sedang berdemo di seputaran GDPRRI. Foto-foto di koran dan/ apalagi Video Tikus DPR, menenteramkan Huang dkk. Video Tikus DPR - paling tidak telah menjadi “tontonan asyik” kaum muda dan mahasiswa. Huang dkk BEM UI masa kini cukup puas dengan apa yang sekarang ini sedang berkelanjutan di/ter-jadikan dalam dunia maya. Sebuah realitas virtual(!) yang hilir-mudik di depan mata para netizens ... yang sering dengan mudah dan begitu saja dinamai/kan sebagai “rakyat.” A palagi, kalau Huang dkk melaksanakan kerja BEMUI seperti itu tanpa diganggu rasa rikuh atau rasa malu terhadap pihak-pihak lain manapun.
Video Tikus dan adegan adegan (scenes) foto-foto demi Jaket Kuning termaksud juga didominasi gambar dan latar-belakang bangunan dan gedung pencakar langit di seputaran fly-over Semanggi, hotel dan kantor pencakar langit di seputaran Jalan Gatot Subroto dan Senayan; yang menjadi pusat pemandangan GDPRRI. Teknologi komunikasi dan informasi gaya BEMUI menghasikan medsos steril. Medsos yang tidak mengikut-sertakan sosok dan tokoh nasionalis kerakyatan; hanya sekedar gambar arsitektur yang mendominasi aksi dan gerak manusia. Bahkan, seseorang jika memandang fotografi atau video sejenis itu, dia akan mudah mengatakan, misalnya, “hanya foto, dan bukan sarana representasi visual lainnya yang dapat memuaskan diriku (komentar Siegel tentang buku Scott Merrilliees, hlm. 8)
Bagi BEMUI, paling tidak untuk Huang, yang dianggap sebagai “Penyambung Lidah Mahasiswa” - semoga tidak jauh-jauh amat dari gelar Bung Karno sebagai “Penyambung Lidah Rakyat.” Hanya, Ketua BEMUI, nampak lebih mementingkan (simbol) GDPRRI dengan arsitekturnya yang khas dalam aksi demo, produksi video meme, dan medsos lainnya. Masalahnya, jangan-jangan, penonton atau “konsumen” produksi kerja BEMUI termaksud malah akan bereaksi dan berkomentar “huru-hara demo, meme, spanduk, dll. hanya ber-ada atau hadir di sana, di seberang sana, di Jakarta (bahkan cuma sekitaran Semanggi). Kami di sini dan saat ini, toh aman-aman dan nyaman-nyaman saja! Toh besok-besok lagi akan ada lagi spanduk demo, TikTok video Tikus. Apalagi, sebagian konsumen tentu saja akrab dengan serial video atau film “Tom and Jerry.” Dapat saja dengan mudah dan ringan orang berkata, “ah GPP (gak pa pa), tak ada kriminalitas dalam medsos seperti ini. Tidak ada kesan mendalam, kecuali bahwa hal itu direkam dalam gambar modern foto itu saja” seturut “kebiasaan heboh” rumah produksi Holywood atau Disney Land.
Melihat atau memandang medsos digital kekinian berupa foto dan meme berbasis bangunan (GDPRRI) yang abai sejarah tersebut, membuat penonton merasa terdiam, terpaku. tak dapat bergerak. Tak ada tatapan (mata) yang membalas tatapan penonton atau pemirsa. Jangan-jangan, justru sebuah gedung (lengkap dengan Jembatan Semanggi, GDPRRI, kawasan bisnis Senayan, kampus Trisakti dan sekitarnya) yang malah, sebaliknya, melihat, menonton atau menatap pandangan kita tanpa dapat membalas tatapan atau pandangan seperti itu. Dapat dipahami kalau sebagaimana sebuah jimat, foto, meme, medsos dll. tersebut ômelestarikanö atau membuat seakan sebuah mummi dari masa silam.
Dapat saja ada suara atau kata-kata miring yang menuduh Huang dkk hanya “pemain bayaran” dari pendana dalam atau luar negeri. Ketua BEMUI Melki Sedek Huang menjelaskan, video kritik DPR dengan gambar Ketua DPR Puan Maharani berbadan tikus yang beredar di media sosial merupakan bentuk kemarahan berbagai pihak. Bahkan, tentang Animasi Puan Maharani Berbadan Tikus (TikTok/BEMUI, Warta Ekonomi Jakarta), bahkan sesudah 78 tahun kemerdekaan RI, Huang dengan ringan menyebut orang-orang di Senayan Bukan Perwakilan Rakyat, Tapi Perampok Rakyat.
Video meme dan medsos digital yang lain, menurut sejarahwan Rudolf Mrazek (2002, 261-pg.190) dengan memanfaatkan peralatan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir, cenderung melonggarkan perlunya ikatan antara “derau” (sound) dengan “suara” (voice); antara “kata” (word) dengan “perbuatan” (deed).
Lagi-lagi, dengan tambahan kata mujarab seandainya, bertepatan dengan perayaan Bulan Bung Karno tahun 2023, maka, seandainya Bung Karno masih hidup, mungkin para pembaca kekinian yang sedang ancang-ancang mengikuti Pemilu dan Pilpres 2024 patut menyimak kalimat yang ditulis Siegel (2002), tentang Bung Karno sebagai “Penyambung lidah rakyat" (Pidato Gesuri di GBK Senayan 1963). Seseorang patut dinamakan “Penyambung Lidah Rakyat” jika saja ybs:
memang didengarkan oleh orang-orang yang merasa, sesudahnya, bahwa ia (seperti Bung Karno) berbicara untuk menyuarakan kepentingan rakyat, artinya Bung Karno mengatakan apa yang memang dipikirkan oleh rakyat. Masalahnya, dewasa ini orang-orang yang bersedia "mengemban amanat rakyat" tidak kurang. Akan tetapi, tidak mudah lagi menemukan orang-orang yang merasa kepentingannya disuarakan. Dan justru orang-orang yang langka seperti itulah yang dibuang dari pikiran.
Lalu, lagi-lagi, “seandainya” Bung Karno hari ini belum wafat. Satu sisi, tepatkah kata-kata dan medsos “demi rakyat” dari lidah dan mulut seorang Ketua BEMUI; yang sepihak menyapa - dan bikin rikuh - kalangan politikus DPRRI. Atau, sisi yang lain: tepatkah kata-kata tanggapan anggota DPRRI yang merasa diri dianggap “tidak terhormat” dengan “sapaan” (medsos) termaksud.
Bacaan rujukan:
James T. Siegel,
2002, Komentar terhadap buku S. Merrillees; dalam Indonesia, vol.74, Oct.2002.
2001, “Yang Hilang dari Zaman Bung Karno,” dalam Basis, Maret-April; penerbitan asli, “Kolom,” dalam jurnal Indonesia, April 2000. Cornell Modern Indonesia Project.
Scott Merrillees, Batavia in Nineteenth Century Photographs. Richmond, Surrey: Curzon Press, 2000
Roland Barthes, Camera Lucida, trans. Richard Howerd. New York: Hill and Wang, 1981
Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony.
Princeton: Princeton Univ.Press, 2002