“SILATURAHMI SENYAP” KEKUASAAN (Jawa) INDONESIA JOGJA AWAL TAHUN 2025

“SILATURAHMI SENYAP” KEKUASAAN (Jawa) INDONESIA JOGJA AWAL TAHUN 2025

Silaturahmi means friendship or brotherhood
Silaturahmi memiliki arti kasih sayang dengan sesama
(KBBI, 2019).

Presiden ke-7 RI - mantan - Joko Widodo mendadak menemui Sultan Hamengku Buwono ke X di Keraton Yogyakarta, Rabu, 15 Januari 2025 pagi. Seusai pertemuan, Jokowi pergi tanpa memberi penjelasan, Sultan pun enggan berkomentar banyak. Benarkah pertemuan ini hanya “silaturahmi” biasa? Pertemuan tertutup selama 1,5 jam itu berlangsung seakan terasa “senyap” di Keraton Kilen yang merupakan kediaman pribadi Sultan Hamengku Buwono yang berlokasi di dalam kompleks Keraton Yogyakarta (Daeng, 2025).

Boleh jadi ada “Sisi Balik” tentang peristiwa “senyap” dari komunikasi politik silahturahmi tersebut. Cermati saja bagaimana berbagai pembuat berita medsos: harian Kompas memasang berita berjudul "Membaca Pertemuan Jokowi - Sultan HB X di Yogyakarta" (Kompas.id, 15 Januari 2025). Sementara, The Jakarta Post (January 15, 2025) merilis berita dengan judul "No Politics in meeting with Yogyakarta Sultan, Jokowi claims." Sedangkan, Kantor Berita Antara (15 Januari 2025) hanya memberi judul "Jokowi temui Sultan HB X di Keraton Kilen."

Kalau mengikuti gagasan peneliti kesusasteraan Jawa (Florida, 1995), pertemuan “silaturahmi” pada pertengahan bulan pertama tahun 2025 antara mantan “penguasa” NKRI (2014-2024) asal Solo dengan penguasa Kesultanan Hamengku Buwono, Jogja (1989 - sekarang), harapannya membuat rakyat atau masyarakat mempercakapkan hal dan masalah suratan masa silam Nusantara dan sekaligus guratan (dan “nubuat”) untuk masa menjelang negara bangsa RI.

Beberapa wartawan media massa menyurat cukup rinci, “Mobil yang ditumpangi Jokowi memasuki gerbang Keraton Kilen pada pukul 08.51. Presiden ke-7 RI itu menggunakan Toyota Alphard warna hitam bernomor polisi B 1568 AZC. Pada pukul 10.22, mobil Jokowi keluar dari gerbang Keraton Kilen. Jokowi membuka kaca mobil dan tersenyum kepada puluhan wartawan yang menunggu di luar gerbang. Namun, dia tak memberikan pernyataan apa pun meski sejumlah wartawan melontarkan pertanyaan. Senyap lah.

Baik diketahui bahwa mobil Toyota “ALPHARD” adalah kendaraan elitis penguasa - dan pengusaha - RI beroda empat yang tidak sulit untuk dipadankan sekelas dengan “Kereta Kencana” kendaraan roda empat tradisional para Raja di Indonesia pada masa itu. Pada masa silam kekuasaan mantan Presiden Jokowi bersama keluarga, menantu dan anak-cucunya sering menaiki kereta tradisional mewah para raja Jawa. Akan tetapi pilihan cara hidup elitis seperti itu berbeda dengan “adat Bali/Jawa” yang menggurat (Geertz, 1980).

Hanya ... peristiwa “senyap” selama sekitar sembilan puluh menit di kediaman resmi Sultan HB X di Jogja, yang disuratkan oleh media massa dengan kata “silaturahmi” tersebut tidak dapat disebar-luaskan ke rakyat umum.  Meskipun, segera sesudah peristiwa itu, Sultan langsung menuju ke kompleks Kepatihan (Kantor Gubernur DIY). Dalam gaya bahasa lokal Jawa bercampur bahasa nasional Indonesia, Sultan HB X mengatakan, “”Ya, enggak bisa toh, wong itu pribadi, kok. Ya, saya enggak mau punya komentar apa pun,” Atau, singkat kata, Sultan HB X mempunyai sesuatu rasa “rikuh” ketika perlu berkomunikasi secara publik. Sultan HB X (lahir 1946) tetap “menghargai,” atau dalam kata-kata yang lain, “menjaga cerminan identitas yang dibawa-bawa mantan presiden RI (Jokowi lahir 1961) yang ketujuh itu. Bahkan, kata beliau, “tidak membahas politik.” Padahal, di masa silam, saat-saat  menjelang PilPres negara bangsa RI (2014, 2019 dan 2024) Jokowi juga menyempatkan diri berkunjung ke HB X.

Bagaimanapun juga, HB X masih sangat kental dengan kekayaan kebudayaan dan kesusasteraan tradisi (nubuat) Jawa dalam memimpin wilayah kesultanannya maupun sebagai Gubernur DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), Sultan HB X akrab dengan salah satu sastra politik Jawa “Kala Tidha” dan jenis kuliner tertentu - Sayur Lodeh - ketika beliau merasa perlu berpidato pada masa situasi politik Indonesia sedang memanas dan khususnya saat bencana (pandemi) Covid-19 beberapa tahun berselang.

 
Sumber: kompas.com (kiri) dan suara.com (kanan)

Seorang akademisi, pengajar komunikasi politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Ranggabumi Nuswantoro, mengatakan bahawa sulit memandang pertemuan kedua tokoh penting itu berisi hal dan masalah non politis.  HB X sebagai Penguasa Kultural. Mantan Presiden Jokowi, bagaimanapun juga memiliki tujuan politik tertentu ketika bertemu dengan pemegang “kuasa kultural” yang berkait erat bahasa-bahasa simbolik - termasuk politik - khas kesultanan Joigja. Ranggabumi inipun menduga, salah satu tujuan kunjungan Jokowi - yang merasa punya “relasi baik” dengan Sultan - katanya - sedang “sowan” memohon restu terkait langkah-langkah politik yang mungkin akan diambilnya ke depan - sejenis “nubuat” - setelah tak lagi menjabat presiden.  Dalam peristiwa Silaturahmi Senyap menjelang Tahun Baru Imlek 2025 tersebut, sebenarnya tersedia juga penafsiran bahasa politik simbolik tertentu berdasar motif batik - dan telanjur disebar-luaskan lewat “medsos” X/Twitter. Bahasa politik simbolik berkaitan motif baju batik - lengan panjang - yang dipakai oleh Jokowi dan Sultan HB X pada peristiwa “senyap” tersebut.  Pantauan di media sosial (Detik, Netizen di akun X @sub***, Kompas.com, Tribunjogja.com, dll.) menyebut baju Sultan saat itu merupakan batik motif Gringsing yang bermakna tolak bala. Sementara Jokowi memakai baju batik seharga Rp. 5,7 juta bermotif Naga Dersonolo bikinan Galeri Bendoro Batik Solo. Motif Naga Dersonolo direpresentasikan sebagai simbol keberanian dan penjagaan dan penghalau terhadap hal-hal buruk (Rezqiana, 2025).


Peresmian Tugu Udang yang dibangun dengan menggunakan 1.034 knalpot brong sebagai simbol kota Cirebon dan penegakan aturan berlalu lintas oleh Kapolresta Cirebon, Kombes Sumarni dan perwakilan Forkopimda di sebelah pos one way perempatan SMPN 1 Sumber. 
(Sumber: etnologimedia.com)

Sebagai kajian banding, mendiang Ben Anderson, pakar bahasa politik kekuasaan dan penguasa Indonesia, pernah melaporkan catatan sejarah tentang motif batik Cirebon (pesisiran) yang ternyata sangat dipengaruhi oleh budaya Tionghoa Peranakan. Dominasi motif “udang” pada batik Cirebon sebenarnya sebagai “bahasa simbolik” untuk mengkritik para penguasa rasial dan sukuisme pihak kolonial Kumpeni (VOC) Hindia Belanda saat itu (akhir abad 17 - awal abad 18). Penguasa Belanda saat itu berusaha menaklukkan kompetitornya yaitu Ki Aria Martaningrat (Syahbandar Cirebon) yang bahkan dijuluki kalangan penguasa Belanda "seorang Cina yang jahat". Balasan dan perlawanan masyarakat plural - non diskriminasi SARA - para pendukung Martaningrat, antara lain dengan melahirkan motif batik “Udang” - hewan dengan isi kotoran di otaknya (Hoadley) Ada sesuatu “Sisi Balik Senyap” dari pilihan HB X memperhitungkan adat Jawa “ewuh-pekewuh” atau “rikuh” (segan, bikin “sesama yang lain” merasa “tidak nyaman”) yang menjadi kendala atau gangguan ketidak nyaman publik/masyarakat plural di Jogja - dan Indonesia - pada masa kini dan masa menjelang. Padahal, sebenarnya, para penguasa di negera bangsa Indonesia telah memulai demokratisasi modern dengan menggunakan cara Berbahasa sebagai “lingua franca” demi pluralisme Nusantara, masyarakat majemuk negara bangsa Indonesia (Plural Society) yang selalu berusaha hidup bersama dengan mengesampingkan diskriminasi golongan SARA (Sosial, Agama dan Ras) (Siegel, 2009).

Para pembaca budiman dapat memaklumi - demi politik kebudayaan “silaturahmi” - mengapa dan bagaimana HB X hanya dapat, terpaksa, berkomunikasi dengan masyarakat dan wartawan dalam bahasa lokal (Jawa) dan bahasa nasional (Indonesia). Mungkin, itukah sebabnya komentar Ranggabumi terhadap Sultan yang dianggap sebagai guru bangsa, perlu netral dan mewakili politik kebangsaan. Tegas akademisi itu. ”Saat ini tidak banyak lagi figur seperti itu,” Maka, mungkin - bagi para pembaca budiman - ada baiknya untuk memahami mengapa danbagaimana Jokowi sampai membuat Sultan HB X menjadi rikuh, dan sampai perlu mengatakan “tidak ada apa-apa” di balik sesuatu yang senyap tentang pertemuan 90 menit antara dua penguasa? Boleh jadi, ada sesuatu rasa “hilang” dari masa silam Jokowi yang membuatnya - dan dinastinya - gelisah, sulit, atau bakan tak mampu menggurat masa menjelang berikutnya dalam sebuah tradisi (Jawa) sejenis “nubuat.”

Adalah Saya Siraishi Sasaki dalam penelitiannya tentang Pahlawan Belia (Young Heroes) yang mencatat bahwa betapa seorang anak Jawa merasa kehilangan yang sesungguhnya ketika si anak - bahkan sesudah dewasa - masih menyimpan, memuja, dan menjadikan sebagai sebuah jimat, khususnya benda-benda seperti sebuah selendang yang tidak akan dilupakan (baca: sulit dihapus) dari pengalaman masa kecil ketika masih (suka) ada dalam gendongan ibunya!

“Selendang ibu” atau “selendang leluhur” atau selendang apapun yang mungkin sejenis dengan kain selendang Ulos (Batak), Songket (Sumatera Barat dan Selatan), misalnya, nampaknya, membuat orang bersangkutan yang masa kini masih menggunakan selendang adat atau selendang wasiat atau selendang jimat malah menjadi rasa kehilangan yang diingat atau lebih tepat diimajinasikan, dibayang-bayangkan dari masa kecil, masa silam ..... justru pada masa kini atau masa sekarang ini membuat orang yang bersangkutan tersebut (tetap) mengalami rasa (ke)hilang(an) yang sungguh-sungguh! Kepercayaan pada makna itu memang terus tumbuh dan hidup di benak orang-orang dewasa. Mereka adalah orang-orang yang justru menjadi rawan dan rapuh terus “mencandu,” mengingat sensasi kehangatan sebuah selendang, karena mereka telah kehilangan hal tersebut. Sensasi kehangatan itu akhirnya tertanam kuat dalam ingatan mereka, karena mereka memang hanya bisa mengenangnya dan tak mungkin mengulang pengalaman masa silam untuk merasakannnya lagi. Upaya mengenang secara intens sensasi hangat itu akhirnya menghasilkan sebuah ingatan (memory) kolektif di kalangan orang dewasa dalam kebanyakan keluarga Indonesia (Shiraishi, 2001).

Jangan-jangan, bukankah hal sejenis itu yang terjadi selama beberapa tahun belakangan ini sebelum November 2024; dalam pengalaman perjalanan seorang Jokowi (d/h Mulyono) - bersama isteri dan anak-anak, menantu dan cucu-cunya - yang masih suka berkelanjutan menggunakan pakaian adat raja yang kebetulan berasal dari Solo- Kasunanan Pakoe Boewono. Atau, paling tidak, mampu dan tidak merasa kesulitan untuk memiliki dan memakai busana batik dari sebuah jenama butik di Solo yang bermotif Naga Dersonolo.

Pencerahan modern berikut ini juga perlu bagi para pembaca budiman. Silakan membayangkan saja - kalau mengikuti imajinasi mendiang Ben Anderson untuk cerdas mencermati sebuah ilustrasi fotografi di halaman muka Kompas cetak bertanggal 1 Februari 2025. Hari itu adalah tiga hari sesudah Tahun Baru Imlek dan 16 hari sesudah hari “silaturahmi antara Sultan HB X dengan Jokowi, “Orang Nomor Satu” di NKRI. Koran Kompas cetak (1 Feb 2025) itu secara istimewa memasang foto “Labuhan Merapi” berukuran seperempat halaman muka koran.

Teks di bawah foto Kompas “cantik” itu - orang muda mengatakan “instagram able” atau “Tiktok banget,” berbunyi (atau: bersuara, “bersabda”) sebagai berikut: “Perjalanan menuju area Sri Manganti saat berlangsung tradisi Labuhan di Gunung Merapi, Kecamatan Cangkringan Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (30/1/2025). Tradisi ini digelar sebagai rangkaian peringatan ulang tahun ke-36 bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Raja Jogja. Kalau HB X masih terus melakukan “silaturahmi” dengan Ratu kidul “Yang Lain” di Laut Selatan dan Gunung Merapi dalam berbagai cara Berbahasa atau atau komunikasi simbolik (tradisional). Lalu, Jokowi, “penguasa (nasional)” Indonesia selama sepuluh tahun yang silam (2014-2024) akan/telah melakukan, atau menggurat apa - demi sebuah nubuat khas Jawa!?


Kiri (atas & bawah): Prosesi Labuhan Gunung Merapi oleh para abdi dalem, mengantar persembahan ke puncak. Kanan (atas & bawah): Prosesi Labuhan Pantai, persembahan dihanyutkan ke laut sebagai wujud syukur dan harmoni dengan alam.

Kepada siapa, ke mana, dan bagaimana Jokowi mau melakukan (amanah) upacara sejenis Labuhan termaksud? Istana IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara sebagai salah satu alternatif di Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur, misalnya, belum (juga) selesai dibangun. Tak ada pilihan lain, kecuali, jika saja, penguasa Indonesia (2014-2024) termaksud sungguh mampu mengatasi rasa atau perasaan “kehilangan” yang mendalam tentang kekuasaan masa silamnya.

 

Daftar Pustaka

Daeng, Mohamad Final. 2025. “Membaca Pertemuan Jokowi Sultan HB X di Yogyakarta.” Kompas.id, 15 Januari 2025.
Florida, Nancy K. 1995. Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java. Durham: Duke University Press.
Geertz, Clifford. 1980. Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton: Princeton University Press.
Hoadley, Mason. 1994. The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680-1792. Studies on Southeast Asia. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Hoadley, Mason. 2009. Islam dalam Tradisi Hukum Jawa & Hukum Kolonial. Jakarta: KPG.
Pusat Bahasa. 2019. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kelima. Jakarta: Balai Pustaka.
Sasaki Shiraishi, Saya. 2001. Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik. Jakarta:
Gramedia. (Terjemahan dari Young Heroes: The Indonesian Family in Politics, Cornell SEAP, 1997).

Siegel, James T. 2009. “Berbahasa” dalam Henri Chambert-Loir, Sadur: Sejarah dan Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG bekerja sama dengan École française d'Extrême-Orient, Forum Jakarta-Paris, Pusat Bahasa, dan Universitas Padjajaran.
Rezqiana, A.N. 2025. “Arti Baju Batik Naga Dersonolo Rp 5,7 Juta yang Dipakai Jokowi saat Sowan Sri Sultan HB X di Jogja.” TribunJogja.com, 17 Januari 2025.