Intoleransi Istimewa, Pelanggaran HAM d(ar)i Yogyakarta

Intoleransi Istimewa, Pelanggaran HAM d(ar)i Yogyakarta
Sumbu Imajiner Laut Selatan-Gunung Merapi (sumber: dimodifikasi dari google)

Arta Elisabeth Purba

Gelar Jogja Istimewa memunculkan imajinasi kedamaian, keamanan dan ketentraman bagi penduduk asli, pendatang maupun pengunjung. Sentuhan budaya dari masa lalu, tempat-tempat klasik bersejarah seperti Malioboro semakin menambah keistimewaan kota ini. Ahli sejarah dari Inggris, (Peter Carey.1984) menulis Jalan Maliabara ('Garland Bearing Street'): The Etymology and Historical Origins of a much Misunderstood Yogyakarta Street Name (Archipel 27. 1989) atau dalam terbitan Bahasa Indonesia dengan judul Asal Usul Nama Yogyakarta Malioboro menggambarkan bahwa Jalan Malioboro (sekarang) atau “Malya-bhara” (dahulu) adalah sebuah jalan istimewa utama yang dihiasi dengan “untaian bunga” (malya) atau sejenisnya. Konon, di jalan utama kota (raja marga) inilah, para tamu “kenegaraan” dari penguasa dinasti HB disambut "pasukan kehormatan bersenjata" dengan jaminan suasana “toleran”; si/apa-pun tamunya.

Monumen Jogja Kembali (Monjali) juga menjadi peringatan kembalinya perjuangan Yogyakarta sebagai ibu kota negara yang didirikan pada 29 Juni 1985 dan disahkan pada 6 Juli 1989 dengan menggunakan gagasan Mandala.

"Pasukan Kehormatan Bersenjata" di samping bus bertugu Jogja  (sumber:google)

Mengacu KBBI, toleransi merupakan penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. Sementara, mengacu merriam-webster, toleransi merupakan kapasitas untuk menanggung rasa sakit atau kesulitan: ketahanan, fortitude dan stamina. Toleransi berbeda dengan sinkretisme mitologi juga pewayangan Jawa oleh Benedict Anderson. “Toleransi” bersumber dari sinkretisme mitologi kebudayaan yang mengutamakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) berbeda untuk mencari keserasian dan keseimbangan.  

Jaminan suasana toleransi dan sinkretisme di Yogyakarta nampaknya tidak terpelihara dengan baik di era informasi dan komunikasi digital masa kini. Mengutip data Setara Institute tahun 2017, Yogyakarta nyatanya menduduki peringkat 6 sebagai kota yang paling rendah tingkat toleransi keberagamannya diantara 9 kota lainnya secara berurutan antara lain Jakarta, Banda Aceh, Bogor, Cilegon, Depok, Banjarmasin, Makassar, Padang dan Mataram (Detik, 2017). Pertanggal 25 November 2019, beberapa media seperti Tempo dan Detik tetap menginformasikan bahwa Yogyakarta berada pada 10 besar sebagai daerah intoleran.

Provinsi dengan jumlah kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) tertinggi di Indonesia

No

Nama

Jumlah Kasus

1

Jawa Barat

162

2

DKI Jakarta

113

3

Jawa Timur

98

4

Jawa Tengah

66

5

Aceh

65

6

DIY

37

7

Banten

36

8

Sumatera Utara

28

9

Sulawesi Selatan

27

10

-

-

Sumber: Tirto (2019, November 25). Intoleransi di Yogyakarta Meningkat 5 Tahun Terakhir, Kata Setara. Diakses pada 6 Desember 2019 dari https://tirto.id/intoleransi-di-yogyakarta-meningkat-5-tahun-terakhir-kata-setara-emig

Wartawan Detiknews, Usman Hadi sempat mengingat-ingatkan penelitian Setara Institute (2017) bahkan menambahkan ada peningkatan kasus intoleransi kebebasan beragama di Yogyakarta (2017-2019) yang menjadikannya masih boleh dikatakan masuk dalam daftar 10 besar daerah dengan kasus intoleransi tertinggi.

Terkait hal itu, setelah memperingati HUT PGRI ke-74 di GOR Amongrogo, Yogyakarta pada 25/11/2019, Sri Sultan Hamengkubuwono XI angkat bicara dengan dalih belum mengetahui dasar yang digunakan Setara Institute untuk mengukur tingkat intoleransi di DIY. Tampaknya Sultan sama sekali tidak memperhatikan bahwa sehari sebelumnya (24/11/2019) atau kurang dari dua minggu setelah kasus Pajangan Bantul (12/11/2019), Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sudah memberikan komentar dan mengaku prihatin terhadap meningkatnya intoleransi di kalangan masyarakat Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (Tribunnews, 2019). Wakil partai yang masuk 5 besar peraih lonjakan suara terbanyak di pemilu 2019 (Litbang Kompas 2019) itu menekankan agar masyarakat dapat menjadikan Pancasila sebagai way of life atau jalan hidup dan meniadakan aksi intoleransi. Bahkan sehari sebelum Hasto, (23/11/2019) Yeni Wahid justru memperkenalkan Peace Village, taman bermain luar ruang pertama di Kabupaten Sleman, Yogyakarta yang dilengkapi dengan teknologi augmented reality sebagai upaya nyata memerangi intoleransi (Okenews.2019).  

Jika dilihat dari studi Indeks Kota Toleran (IKT) (Tirto, 2018), indikator kota toleran sebagai alat ukur diadopsi dari kerangka pengukuran yang diperkenalkan Brian J. Grim dan Roger Finke (2006). Indikator untuk regulasi pemerintah kota terdiri dari rencana pembangunan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), produk hukum pendukung lainnya dan kebijakan diskriminatif. Indikator regulasi sosial terdiri dari peristiwa intoleransi dan dinamika masyarakat sipil terkait peristiwa intoleransi. Indikator penilaian tindakan pemerintah terdiri dari pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi dan tindakan nyata terkait peristiwa. Indikator demografi agama terdiri dari heteroginitas keagamaan penduduk dan inklusi sosial keagamaan.

Melawan lupa, banyak kasus intoleransi sebagai bentuk pelanggaran HAM yang belum ditangani dan tidak mendapatkan keadilan hukum (2017-2019) antara lain pembubaran pameran dan perampasan hasil karya seni Andreas Iswinarto tahun 2017, penghentian bakti sosial di Pringgolayan, Banguntapan, Bantul, penyerangan gereja St Lidwina di Sleman, perusakan properti sedekahan laut di Pantai Baru, Srandakan, Bantul dan pemotongan salib di Tempat Pemakaman Umum (TPU) tahun 2018. Aksi penolakan terhadap anggota masyarakat di RT 08, Pedukuhan Karet, Pleret, Bantul berlandaskan Surat Keputusan nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 yang menegaskan bahwa pendatang baru harus beragama Islam, sama dengan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk. Teranyar, larangan ibadah pada komunitas Hindu-Budha di Kecamatan Pajangan, Bantul tahun 2019. Istimewa bukan? Agama dan kepercayaan diluar agama mayoritas masih didiskriminasi.

Sikap intoleransi tentu sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan menciderai hak asasi pribadi, politik, hukum dan lain sebagainya yang tak mampu menistakan predikat “Jogja Istimewa” dan “Malioboro” atau tepatnya “Malya-bharasebagai kota toleran. Bahkan melalui Maliboro, penegakan toleransi sudah dikenal sejak pendiriannya yang bersamaan dengan keraton Yogyakarta jauh sebelum penetapan peringatan HAM oleh dunia global pada10 Desember 1948.