Gejayan Memanggil Elit yang Parno
Hugo S. Prabangkara
Pada tanggal 17 Oktober 2019, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengedarkan surat himbauan untuk para ketua Komisi Kerawam Keuskupan supaya umat Katolik di Indonesia turut merayakan “…keberhasilan bangsa Indonesia dalam menghidupi nilai-nilai demokrasi…” dengan cara mendukung pelantikan Ir. Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, surat tersebut juga menghimbau umat untuk waspada dan melihat perkembangan situasi karena adanya tindakan penusukan terhadap Wiranto selaku Menkopolhukam yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 2019. Himbauan tersebut dirasa penting karena upacara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden diadakan pada hari Minggu, tepat pada saat umat Katolik menjalankan ibadah.
Saya merasa tergelitik melihat pesan tersebut. Mungkin buat orang lain himbauan tersebut ditanggapi secara serius dan jadi lebay. Perihal soal reaksi yang lebay, tiba-tiba ingatan saya jadi tertuju pada tanggal 22 September 2019, tepatnya pada aktivitas media sosial WA grup gereja yang memberitakan soal diadakannya aksi mahasiswa #GejayanMemanggil, ditambah dengan surat dari Rektorat Kampus Universitas Sanata Dharma yang menghimbau agar mahasiswa USD tidak turut serta dalam aksi tersebut.
Informasi mengenai aksi tersebut dalam konteks grup WA gereja saya tidak dapat jelas dibaca – karena banyaknya silent reader yang ada di grup tersebut, dan saya juga salah satunya. Tapi jika diamati secara sekilas, respons yang dominan muncul adalah penolakan grup gereja untuk dijadikan sebagai destinasi pesan politik tersebut, dan skeptisme terhadap aksi #GejayanMemanggil.
Misalnya salah satu anggota grup merespons demikian, “Tiati lur pikiran kritis mahasiswa yang nalurinya kontra pemerintah rawan ditunggangi kepentingan politik ehe”. Pesan tersebut lalu ditanggapi orang lain di dalam grup yang sama, “Memang dtunggangi lur, memanfaatkan mahasiswa2 yg sedang dalam pubertas idealisme, asal tidak keluar dari koridor Pancasila dan UUD 45 demo itu perlu, mahasiswa alat yg tepat untuk menunggangi…”.
Hal yang menarik lainnya, adalah munculnya batang hidung buzzer dalam grup tersebut, yang notabene juga merupakan seorang aktivis gereja, yang mengundang anggota grup untuk menjadi “relawan buzzer” pada hari yang sama, 23 September 2019, dengan alur jalan yang sama – masuk ke dalam aksi #GejayanMemanggil, tetapi dengan melayangkan tagar (hashtag) yang berbeda, yakni #JogjaUntukSemua. Pembicaraan tersebut berlangsung cukup lama sampai banyak anggota yang merasa rishi. Bahkan ada anggota yang keluar dari grup dan pada akhirnya ada anggota yang merespons demikian, “pesen dong ,untuk yg lebih dewasa daripada saya, dan teman teman di sini , politik politik e dikurang kurang i nggih ,nek memang mau bergerak di politik jangan yg terlalu garis keras ,” dan “Nambahi mas mbak , disini juga masih banyak yg baru masuk Sma ,jangan di nodai bang.”
Sikap seperti di atas jadi gambaran kasar realita kesadaran politik anak muda milenial zaman sekarang – yang kadang kala disalahkaprahkan dengan posisi politik yang “netral”. Sikap tersebut juga bisa jadi muncul karena mereka sudah terlanjur mendapat framing aksi demonstrasi yang dikait(kait)kan dengan kekerasan, yang mereka dapat dari media massa, sosial, atau elitis-elitis sekolah, dan bahkan gereja. Terlebih memori pergerakan yang menjurus ke kekerasan dan perusakan fasilitas umum seperti aksi Mei 2019 silam belum lepas dari ingatan mereka. Tapi perlu dicatat dan digarisbawahi dengan tebal, bahwa aksi 21-22 Mei 2019 merupakan aksi yang berbeda dengan aksi #GejayanMemanggil.
Aksi #GejayanMemanggil merupakan respons kritis dari munculnya Undang-Undang yang memberikan ruang untuk melemahkan KPK. KPK tidak lagi jadi Lembaga yang independen tetapi dijadi(jadi)kan bagian dari Aparatur Sipil Negara, dan harus berada di dalam kungkungan negara dan tunduk pada pasal-pasal yang mengatur Aparatur Sipil Negara. Jadi, cita-cita supaya KPK menjadi lembaga yang independen, dirampas begitu saja.
Maka dari itu, aksi semacam ini perlu didukung habis-habisan karena adanya tujuan yang jelas, prosedur dan cara main aksi yang jelas, serta masalah yang dikritik jelas menyangkut banyak orang dari segala latar belakang. Jadi aneh apabila jika para ‘intelektual publik’ agak skeptis dan apatis, karena pada prakteknya yang mendukung habis-habisan justru masyarakat sekitar yang memberikan buah, minuman secara cuma-cuma sedangkan beberapa elitis mengatasnamakan ‘cendekiawan’ atau ‘aktivis’ justru sibuk jadi buzzer dan mengungkapkan kalimat-kalimat sinis lewat medsos. Sikap skeptis dan sinis tersebut, toh gak mempan dan membuktikan bahwa aksi #GejayanMemanggil jilid 1 dan 2 berlangsung tertib, aman, bersih, dan kondusif.
Jadi apa yang dapat dipetik dari aksi di atas beserta respons-responsnya? Kalau saya sih, menyarankan supaya kita jeli dalam melihat sikap-sikap media, edaran-edaran dari kaum elit (entah kampus, atau bahkan elitis gereja Katolik), karena dibalik kalimat yang disusun manis selalu ada latar belakang dengan kepentingan tertentu – nah ini menjawab bahwa semua pergerakan memang selalu ada kepentingan dan seringkali di-framing dengan ‘bahasa-bahasa kosong’. Maksud ‘bahasa kosong’ dalam konteks ini menjurus pada gagasan James T. Siegel (2001), yang mengungkapkan bahwa ‘bahasa kosong’ adalah bahasa yang dilontarkan oleh penguasa (dalam konteks ini, para elitis) guna menentramkan hati yang mendengar, dan mengabaikan implikasi dari sikap tersebut.
Selain sikap jeli terhadap posisi-posisi yang bermunculan, kita juga perlu hati-hati terhadap tulisan yang kelewat konspiratif, misalnya tindakan penusukan Menkopolhukam pada tanggal 10 Oktober 2019 dikait(kait)kan dengan aksi #GejayanMemanggil karena adanya grafiti pada papan reklame yang berbunyi “Almost God Wiranto”.
Ilmu utak-atik gathuk seperti itu justru bakal semakin melemahkan pandangan masyarakat yang sudah terlanjur apatis dan skeptis terhadap aksi-aksi demokratis seperti #GejayanMemanggil, dan keragu-raguan tersebut bisa menjadi senjata yang dapat digunakan para provokator untuk menggembosi mahasiswa sebelum mereka melakukan aksi kritis. Lalu, apakah kalau seperti itu kita merayakan pesta demokrasi? Dari sini terlihat kekacauan logika yang menyamakan aksi damai #GejayanMemanggil dengan aksi terorisme yang dialami Wiranto.
Melalui respons lebay dari elitis kampus dan elitis gereja, yang saya lihat justru sikap parno (paranoid) yang membuat mereka tidak melihat situasi secara kritis, lalu memutuskan bahwa situasinya ‘mengancam’, dan ‘tidak kondusif’, lalu membuyarkan aksi damai tersebut dengan edaran yang bersifat ‘himbauan’, dan bahkan saling ‘menggoreng’ bahwa aksi #GejayanMemanggil tersebut merupakan bentuk serangan mahasiswa kepada Jokowi – seakan -akan kerusuhan Mei 1998 bakal terjadi lagi di Jogja. Padahal, seperti yang sudah dijelaskan di atas, aksi #GejayanMemanggil tidak menyerang Jokowi, yang dikritik adalah rangkaian Undang-Undang yang melemahkan KPK, serta RUU produk gegar logika.