Kumpulan Buku Lembaga Studi Realino Edisi 2011-2020

1. Filsafat Keterbukaan Pluralitas Indonesia

2011

Karya/ Editor: Budi Susanto SJ, Mulyatno, Purnama, Sri Sulistyani, Sudiarja, Windarto 
 

Sinopsis :
Nasionalitas Soempah Pemoeda tahun 1928 menjadi saat tepat dan khidmat karena pengalaman berbahasa bersama dan satu yang meumbuhkan nasionalisme; ketimbang nasionalisme yang menjadikan terbentuknya suatu bahasa bersama, bahasa Indonesia. 

Benedict R.O’G Anderson 
Kuasa-Kata
Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia.
Yogyakarta; Mata Bangsa.2000, hlm.402 

2. Geertz & Para Koleganya

2012

Karya/ Editor: Richard A Shweder Dan Byron Good


Sinopsis :
Buku ini mendorong pembaca budiman kreatif terlibat dalam kegiatan hidup masyarakat sehari-hari. Melalui buku ini kaum muda diharapkan mampu berpikir cerdas dan kerasan berada di tengah-tengah gerak hidup massa masyarakat. Dalam buku ini dikutip pendapat dari Ben Anderson bahwa sebagain besar kaum cerdik cendikia Indonesia cenderung suka menjadi seperti Snake Charmer (peniup seruling penjinak ular berbisa) terhadap pihak pemerintah yang sedang berkuasa, padahal seharusnya mereka tampil sebagai Lion Thamer dalam pentas sirkus. Kaum cendikia seharusnya tanpa takut menjinakkan hasrat kuasa sang raja (hewan). 

Cara kerja Geertz yang mengutamakan penafsiran rangkaian simbol yang diter-pola-kan dalam apa yang dia hakekatkan sebagai “kebudayaan” (upacara, kesenian, iman keagamaan, kelembagaan, dan hal-hal lain sejenisnya) telah dikritisi oleh sebagian antropolog, termasuk beberapa ahli kajian Indonesia – khususnya mereka yang berbasis cara kerja dekonstruktif. Mereka memahami cara kerja Geertzian semakin sulit untuk mengungkap jejak-langkah pengalaman dan peristiwa masyarakat kebanyakan; yang selama ini rapuh tersandera oleh kesewenang-wenangan masyarakat dari kelas elit yang (sedang) berkuasa.
 

3. Nasionalitas Kamp(ung) Teknologi

2013

Karya/ Editor: Anna Lucy Rahmawati, Raimundus Pakpahan, Y.A. Widr

Sinopsis :
Mengenai para sarjana perekayasa teknologi, mereka itu percaya pada cara bahasa mereka sendiri, seperti sebagaimana biasa setiap orang juga percaya pada bahasa mereka masing-masing. Akan tetapi, merasa lebih dari yang lain, mereka percaya diri bahwa bahasa dan hasilnya selalu saja dapat dibongkar dan dirangkai kembali - dan dibongkar lagi - demi manfaat kegunaan bahasa itu sendiri maupun segala sesuatu yang terkait dengannya.
 
Para sarjana tersebut sama seringnya dengan sesamanya dalam hal bermimpi dan merencanakan sesuatu. Tetapi mereka merasa lebih hebat dengan perhitungan dan keyakinan bahwa antara apa yang disebut perencanaan dan impian itu adalah sama saja. Bahkan di ujung batapun, mereka tidak segan dan terlalu berani memaklumkan diri sebagai perekayasa jiwa manusia. Hanya perlu diingat, bahwa selalu saja juga ada seorang "sarjana" seperti itu dalam diri kita masing-masing.

4. Nasionalitas Indonesia (di) Indah-Indah(kan)

2013

Karya/ Editor: Abraham Ferry Rosando, Yohanes Maria Vianey Munday

Sinopsis :
Sejak dari awal saat penemuannya, ilmu pengetahuan dan teknologi terus bergerak dengan cara seperti Radio Hindia Belanda. Teknologi radio yang menyebar-luaskan pengertian kekuasaan yang dipahami terutama sebagai bersifat mekanis. Kekuasaan seperti itulah yang menolong melonggarkan ikatan-ikatan yang sepantasnya antara: derau (noise) dengan suara (voice), antara kata (word) dengan perbuatan (deed) dalam peristiwa hidup sehari-hari masyarakat
 

5. Rumah Sakit "Patient" & Perawat "Hospital"(itas)

2013

Karya/ Editor: Tim Realino 

Sinopsis :
Mendewa-dewakan teknologi (pernah) menjadi seperti ibaratnya kelancaran menggunakan bahasa bersama, atau kemulusa jalan aspal, yang berguna seperti mengenakan pakaian – khususnya para pesolek- yang mendukung mereka mampu bersuara lantang dan jelas. Apakah itu terjadi sekedar karena tubuh dan jiwa manusia terbuat dari kayu adn tanah liat.” 
Rudolf Mrazek, 2006, Engineers of Happyland. Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 181

6. Nasionalitas Penelitian (iptek) Kerakyatan

2013

Karya/ Editor: Sherly Meilany Mustika, Dkk

Sinopsis :
Sama dengan kereta api dan pesawat udara, teleskop adalah seperti tempat berteduh dan berlindung, yang nyaman dan aman. Peralatan teknologis tersebut - dan yang sejenisnya - memungkinkan seorang pengamat menjadi asyik dan gemar mengawasi Hindia Belanda yang molek, dunia yang gemerlap dan membahagiakan.
 
kalaupun yang diamati tersebut ternyata adalah hal-hal mencurigakan, menakutkan, atau menularkan penyakit - bahkan lengkap dengan angka-angka statistiknya - akan tetap saja dirasakan (ny)aman karena kesemuanya itu berjarak, berada di sebalik kaca.

7. Sadur Budaya : The Interpretation Of Culture

2014

Karya/ Editor: Clifford Geertz

Sinopsis :
Lebih dari duapuluh tahun yang lalu, terjemahan dalam bahasa Indonesia buku The Interpretation of Cultures tulisan Clifford Geertz berikut ini pernah disebar-luaskan dalam tiga seri buku. Buku Sadur Budaya dalam satu seri lengkap berikut ini sesungguhnya juga sudah cukup lama mengajukan pandangan dasar bahwa kebudayaan misalnya, bukanlah sekedar menggali dan menyajikam sebuah “cetak biru” demi pewarisan dan pelestarian sepanjang seratus tahun nasib negara bangsa merdeka, Indonesia. Selain alasan bahwa cetakan pertama sudah habis terjual, buku Sadur Budaya berbahasa Indonesia berikut ini - semoga - masih dapat menjadi salah satu pilihan untuk memulai mengkaji-ulang masa lalu Indonesia untuk etnografi Indonesia masa kini.

Sesudah membaca buku ini, peran para etnografer bukan lagi memberi pemahaman dengan penggalian pola-pola makna terbagikan dari hasil olah tafsir peneliti. Adalah baik kalau peneliti cerdas mendengarkan pihak sesama yang lain (liyan) untuk kemudian menyampaikan tentang (si)apa diri mereka sendiri maupun tentang orang lain. Pemahaman Sadur Budaya belaka akan mudah menjadi etnografi yang rawan dan rapuh dimanfaatkan pihak (kepanglimaan) tertentu untuk bersiasat memangkirkan peluang hadirnya keraguan untuk mempertanyakan tentang kekuasaan dan pembeda-bedaan yang dapat me-liyan-kan secara tidak adil dan tidak manusiawi terhadap sesama dalam sebuah masyarakat.

8. Kuasa Hasrat Genggaman Pintar HP

2014

Karya/ Editor: Budi Susanto, S.J.

Sinopsis :
[Teknologi dan] insinyur-insinyuryakin pad a bahasa mereka, sebagaimana kita percaya pada bahasa kita. Mereka bermimpi dan merencanakan sarna giatnya dan sarna seringnya seperti kita semua. Tetapi lebih dari kita semua, mereka yakin bahwa ada kesamaan antara perencanaan dengan mimpi itu. Ketika pengetahuan merekasam pai pada batas tertentu, mereka nampak tegar, lebih menarik, lebih tragis dan berbahaya. Bahkan, para insinyur tersebut dapat mudah memaklumkan diri mereka sebagai "insinyur jiwa manusia:' Tentu saja, perlu disadari bahwa "ada seorang insinyur dalam diri kita masing-masing.
Rudolf Mrazek, 2006
Engineers ofHappy Land.
 Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, xvii
 

9. Ya, Wehea! Rumah Belajar Anak Dayak di Belantara Kalimantan Timur

2014

Karya/ Editor: LPPM Universitas Sanatadarma Yogyakarta

Sinopsis :
Buku ini menceritakan pengalaman mahasiswa Universitas Sanata Darma selama mengabdi di tengah Warga Dayak Wehea yang dikenal dengan nama “Wahau” di Belantara Kalimantan Timur. Buku ini juga berusaha menyuarakan pengalaman, cerita dan cita-cita anak-anak dan orang muda di desa-desa Waeha di kecamatan Muara Wahau.

Tampil dan bergerak sebagai komunitas-komunitas terbayangkan, kaum muda Wehea melalui Rumah Belajar berharap menghasilkan gaung sepadan ketika kata-kata (tertulis) dan tindakan (terpotret) dari mereka bertatap pandang dan rasa dengan hati para pembaca budiman; sebagai sesama warga negara bangsa Indonesia. Buku ini juga diharapkan menjadi kenangan bagi pembaca yang berkunjung (pergi-pulang) ke desa-desa warga Dayak Wehea dan sekitarnya di belantara Kalimantan Timur. Dalam belantara dunia samaran hasil rekayasa teknologi informasi dan komunikasi modern, sebuah kenangan membuat orang tidak mudah diingat-ingatkan untuk melupa  kehadiran sesamanya-sebagaimana hadir di Ya Wehea.  

10. Menjadi (Tionghoa) Indonesia, Dua Cerita Sio Hong Wai

2015

Karya/ Editor: BudiSusanto, S.J Dkk

Sinopsis :
Bagi Oom Sio, Frederik Parluhutan, bercerita dan menulis tentang masa lalu warga peranakan Tionghoa dalam bentuk fiksi sejarah ― Nanyang dan Ranting ― membuatnya nyaman untuk mendukung para pembaca, sesama warga negara bangsa Indonesia dalam memperkembangkan nasionalisme. Belajar dari Opa Kwee yang sempat mempunyai nama penulis Tjamboek Berdoeri, James Siegel, antropolog dan pemerhati Indonesia menganggap mendesak dan penting untuk terus menikmati karya-karya sastrawi para penulis Indonesia sejenis itu. Menurut Siegel, buku-buku: Indonesia dalem Api dan Bara (2004) dan Menjadi Tjamboek Berdoeri (2010), sebagai cerita dan cita-cita Opa Kwee membuat pembaca tetap tidak abai dengan masa lalu bangsanya; untuk tidak selalu mengandalkan kontrol atas massa rakyat sebagai pembenaran hasrat berkuasa.

Tulisan Oom Sio berdasar kosmopolitanisme di Sumatra Utara dalam buku ini kurang lebih mirip paparan Opa Kwee tentang masa lalu Jawa Timur. Sesudah tujuh-puluh tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia (1945-2015), kemiripan tersebut berkelanjutan. Syukurlah, Indonesia menyediakan sebuah bahasa bersama ― lingua franca ― yang mempunyai daya kuasa hasrat untuk “tidak saling mencerminkan dan tidak saling menyebabkan rikuh” (Siegel, 2009, SADUR) karena bahasa itu bukan milik salah satu dari ratusan bahasa ibu dari wilayah Sabang sampai Merauke. Hakekat (budi)bahasa bukan sekadar mengejar berkata-kata tanpa ujung janji makna, tetapi menyediakan peluang bergerak menghadapi hasrat berkuasa yang tidak jarang abai tentang sesama.

11. Peneliti Pengab(@)dian APTIK kepada Masyarakat

2015

Karya/ Editor: Budi Susanto, S.J, Hari Murti

Sinopsis :
Buku ini mendorong pembaca budiman kreatif terlibat dalam kegiatan hidup masyarakat sehari-hari. Dalam buku ini juga dirangkum jenis kegiatan pengabdian kepada masyarakat oleh mahasiswa dari berbagai universitas Katolik yang ada di Indonesia. Melalui buku ini kaum muda diharapkan mampu berpikir cerdas dan kerasan berada di tengah-tengah gerak hidup massa masyarakat.

Dalam buku ini dikutip pendapat dari Ben Anderson bahwa sebagain besar kaum cerdik cendikia Indonesia cenderung suka menjadi seperti Snake Charmer (peniup seruling penjinak ular berbisa) terhadap pihak pemerintah yang sedang berkuasa, padahal seharusnya mereka tampil sebagai Lion Thamer dalam pentas sirkus. Kaum cendikia seharusnya tanpa takut menjinakkan hasrat kuasa sang raja (hewan). 

12. (In)toleransi Wayang : Untuk Kuasa Hasrat Rakyat Indonesia

2016

Karya/ Editor: Y. Apriastuti Rahayu 

Sinopsis :
Berbeda dengan jejak-langkah beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand dan Kamboja yang sebenarnya juga dipengaruhi sastra Sansekerta, Indonesia, khususnya Jawa, mampu melestarikan suatu jenis kesusasteraan yang ditulis dalam bahasa lokal – Jawa Kuno – yang membuat masyarakat terbiasa berpandangan luas dan aneka ragam. Kreativitas sastra maupun minat menikmati kesusasteraan Jawa menjadi syarat penting untuk meloloskan dan menyelamatkan masyarakat dari kehancuran akibat peperangan-peperangan yang mudah terjadi. Kekhususan sastra Jawa adalah memberi dasar agar lebih bersiap untuk berjuang dan menjadi tetap tangguh.
 
                           P.J. Zoetmulder (1906-1995)
                           Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang
                           Seri ILDEP, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1983/1994, hal.20.
                                                     
Per-cakap(!)-an tentang nilai, sikap dan tindakan toleransi bukan nostalgia, kebanggaan elok masa lalu belaka, tetapi perlu berangkat dari sebuah keyakinan naluriah bahwa sikap dan bertindak toleran dalam semua komunitas manusiawi adalah sebuah perkara yang sangat rapuh. Khususnya toleransi yang tidak abai terhadap ketidak-sesuaian yang sesungguhnya tidak langsung mengancam atau menohok hidup kita sehari-hari. Toleransi sepantasnya mengalir dari sebuah penghargaan untuk keragaman manusiawi dan kepribadian setiap orang.
 
                            Benedict Anderson (1936-2015)
                            Mitologi dan Toleransi Orang Jawa
                            Yogyakarta: Jejak, 1965/2003, hal. 71.
 

13. Sukses(i) Penguasa Menyadur Kuasa Sastra Wayang prasthanikaparwa

2016

Karya/ Editor: Y. Apriastuti Rahayu, A. Windarto, A. Harimurti 

Sinopsis :
Yang tertua dari kelima Pendawa adalah Prabu Yudistira. Dialah tipe murni raja yang baik. Darah putih mengaliri nadinya. Tak pernah dia murka, tak pernah dia berselisih, tak pernah juga dia menolak permintaan siapapun, betapapun rendahnya derajat sang peminta. Waktunya dilewatkan untuk meditasi dan menambah kebijaksanaan. Tak seperti ksatria lain, yang pusaka saktinya berupa senjata, pusaka keramat Yudistira adalah Kalimasada yang misterius, naskah suci yang memuat rahasia agama dan semesta.  

Dia, pada dasarnya, adalah cendikiawan tanpa pamrih, yang memerintah dengan keadilan sempurna dan kemurahhatian yang luhur. Dengan penampilan tanpa hiasan yang sama sekali tidak mencolok, kelembutan, dengan kepala merunduk mawas diri dan sosok ningrat yang halus, dia tampil sebagai gambaran ideal tantang Pandita Ratu yang sabar. 

Benedict R.O’G Anderson, 
Mythology and the Tolerance of the Javanese, Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project Edisi ke-2 1996 (Edisi ke-1 1965), hal.23. 

14. Proceding Of The International Conference On Reviving Benedict Anderson : Imagined (Cosmopolitan) Communities

2017

Karya/ Editor: Budi Susanto, SJ, A. Windarto, A. Harimurti


Sinopsis :
This proceeding is a final edited text collection submitted by eighty two participants of the conference on “reviving Ben Anderson Imagined (Cosmopolitan) Communities.“ The proceeding is a kind of memoir rather than memory of the past mentioned by Ben, at least, in his two books titled Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990) and A Life Beyond Boundaries (2016). Once, Ben reminded his readers for example to be a bit careful and aware toward certain people who recklessly bluffing about their ancestors’ greatness as the original idea of nasionalism. In case of Indonesia,Ben certainly said that it was less nationalism that created a common language (bahasa) than that a common language helped to create nationalism (1990-1999); and a certain cosmopolitanism from bellow –if you wish- in the near future as it has been organized by the conference 

It is not just by chances that the proceeding keeps the original English or Indonesia papers in their “as it is” form of the International Conference. The pupose is that both English and Indonesian readings can be experienced by each related respective readers in order to recognized the so called lingua franca. This kind of a beyond boundaries language was acknowledged by Ben as “Bahasa Tanpa Nama”(Nameless Language). James Siegel, one of Ben’s closest friends, mentioned that lingua franca is needed most likely by people who lived in plural societies. It is a public shared language that des not stir a sense of rikuh (feel awkward or ashamed in the presence of one’s betters) and no mirroring representation among its speakers."

15. Reviving Benedict Anderson Imagined (Cosmopolitan) Communities

2017

Karya/ Editor: Tim LSR 


Sinopsis :
Buku ini memuat rangkaian acara dan bahan yang disajikan dalam konferensi Benedict Anderson yang diselenggarakan oleh Universitas Sanatadarma dan Lembaga Studi Realino pada 13-14 Januari 2017 dalam rangka mengenang kembali Benedict Anderson yang telah meninggal pada 13 Desember 2015.

Dalam seminar diulas beberapa bahan diskusi oleh para ahli di bidang masing-masing terkait karya Benedict Anderson. Dikemukakan bahwa Ben Anderson dikenal sebagai penerjemah yang baik dan kosmopolitanisme. 

16. Kamar Kamu, Rumah Kami, Asrama Kita

2017

Karya/ Editor: Budi Susanto, SJ

Sinopsis :
Tatapan dan tanggapan tentang usia tua gedung, atau ketidakkinian artistik atau kesederhanaan gaya hidup RUMAH (Asrama Lembaga Studi Realino) KITA, nampaknya, tidak menjadikan rikuh dan rendah diri para penghuninya ketika ada dalam tatapan mata dan cara pandang benak sebagian orang yang berdiri di luaran Rumah kita itu.

Rumah kita sebagaimana dipesankan Iyek (Ahmad Albar, God Bless) bagi konteks Asrama LSR adalah searus dengan gerakan orang-orang muda pada awal perjuangan kemerdekaan Indonesia, 1945-1950. Alumni penghuni “Rumah Kita” Realino adalah komunitas orang muda yag sedang bersiaga atau bersiap menjadi guru di daerah 3 T (Terluar, Terdepan, Tertinggal) dari negara bangsa kepulaun RI. Tulisan-tulisan dalam kisah refleksi ini, semoga Asrama Realino yang menyuarakan penting dan mendesaknya Sapientia et Virtus (Cerdas dan Bijaksana) bagi alumni RUMAH KITA di kawasan Gejayan, Mrican, DIY

17. Kosmopolitasnisme Si/apa

2018

Karya/ Editor: A. Windarto, A. Harimurti, Hugo S. Prabangkara, Putri Ayu R.

Sinopsis :
Seseorang yang kosmopolitan, sebenarnya adalah seseorang yang berwawasan luas bukan karena sering bepergian ke luar negeri tapi karena sering berjumpa dengan budaya lain. Kosmopolitanisme bukan berarti harus menghabiskan lebih banyak waktu di bandara daripada di kamar sendiri. Anda tidak perlu bepergian. 

Wawancara dengan Benedict Anderson. Lorens Khazaleh, Anthropology Info, 28 Mei 2009. Cynthia Foo, 2008, Invisible Culture 5, No 13

Saya menyaksikan bagaimana Sukarno memahami cara untuk menarik perhayian rakyat desa dan kota dalam bahasa dan gabaran yang mereka pahami untuk membangkitkan kesadaran revolusi dan nasionalisme.
Geroger Mc.T.Kahin, 1986, Gelora Api Revolusi. 
BBBC Indonesia & Gramedia. 
 

 

18. Gagaklodra Makasar : Detektif Nasionalisme Njoo Cheong Seng

2018

Karya/ Editor: Heri Kusuma Tarupay 

Sinopsis :
Karya seni sastra dan budaya perlawanan kerakyatan dalam sejarah Indonesia -dulu Hindia Belanda- terutama buka berakar dari hasrat untuk menyerang, melainkan lebih berupa kenyataan kesejarahan bahwa masyarakat umum telah berkesempatan memanfaatkan bentuk-bentuk modern komunikasi politik; jauh sebelum (kelak ketika) mereka punya otot “kekuasaan” politik. Benedict Anderson, 2000. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta : Mata Bangsa. Hlm 339-342

19. Siasat Mengemas Nikmat

2019

Karya/ Editor: Bedjo Riyanto

Sinopsis :
Cara pandang yang agak lain mengatakan bahwa kita tidak hanya percaya dengan apa yang dapat kita lihat. Kita juga cenderung hanay melihat apa yang kita percayai. Melihat, sebagaimana yang biasa kita lakukan, merupakan suatu sistem, alami maupun rekayasa, yang digunakan untuk menghadirkan perkiraan mengenai realitas yang ada. 

Donal W. Thomas
Semiotics 3, Communication, Codes & Culture
Massachusetts : Ginn Custom Publishing Program. 1982, hlm. 179