MEMBACA ULANG “SO 1 MARET”

Masa Lalu Jogja untuk Indonesia Masa Kini

MEMBACA ULANG “SO 1 MARET”
Serangan Oemoem Maret 2021 Solo-Medan-Jogja (sumber: dokpri LSR)

Tepat tanggal 1 Maret 2021, di kota Jogja, Presiden RI Joko Widodo (selanjutnya: Jokowi) melakukan “serangan” terhadap pandemi Covid-19, dengan keperluan menjadi saksi program Vaksinasi bagi massa rakyat Jogja. Dia sendiri sudah menerima vaksinasi di Jakarta. Lokasi vaksinasi massal untuk rakyat Jogja tersebut terletak tidak jauh dari Monumen Serangan Oemoem 1 Maret 1949, yang dianggap sebuah “legacy” dari salah satu presiden RI dengan masa jabatan lebih dari tigapuluh tahun. Monumen termaksud terletak berseberangan jalan dengan Gedung Agung - tempat menginap Presiden Jokowi kalau sedang di Jogja - yang berlokasi di ujung Selatan Jalan Malioboro. Sebagai catatan, bagian ujung selatan jalan Malioboro (Malya Bhara) yang semula dinamai Jalan Ahmad Yani - sepanjang dua kliometer - sejak 20 Desember 2013 dinamakan Jalan Margo Mulyo.

Kabar “serangan” dari Jokowi dan keluarga besarnya berlanjut. Hanya satu minggu sesudah resmi dilantik sebagai Walikota Medan (26 Februari 2021), Bobby Nasution, tidak takut untuk membuat gebrakan dengan membongkar bangunan baru ilegal tanpa IMB di daerah Kesawan (4 Maret 2021) yang ditetapkan sebagai kawasan “kota lama” dengan beragam bangunan heritage. Pembongkaran yang selama ini tak tersentuh oleh walikota-walikota Medan sebelumnya.

Hanya berselang lima hari dari “serangan” di Jogja, masyarakat Indonesia, khususnya, kota Solo, pada  6 Maret 2021, sebagai Walikota Solo yang baru, Gibran Rakabuming Raka menghadiri acara peletakan batu pertama pembangunan Masjid Agung Sheikh Zayed yang dihadiahkan Pangeran Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) Mohammed bin Zayed Al Nahyan. Masjid indah ini merupakan replika dari Syeikh Zayed Grand Mosque di Abu Dhabi. Anggaran pembangunan masjid raya di Solo ini sekitar Rp 5,7 triliun dengan luas lahan 2,9 hektarare yang nantinya bisa menampung hingga 12 ribu jemaah.Tentu, proyek pembangunan tersebut adalah sebagian dari prestasi Jokowi sebagai Presiden RI yang bersahabat dengan UEA (Uni Emirat Arab).

Meskipun bukan setara dengan “berita nasional,” masih dalam bulan Maret 2021 yang sama, Kaesang Pangarep (adik Gibran) menggemparkan warga kota Solo - dan penggemar klub sepakbola nasional - dengan memiliki saham mayoritas klub PERSIS (Persatuan Sepak-bola Indonesia Solo) bersama Menteri BUMN, Erick Thohir, dan seorang pengusaha muda lokal, Kevin Nugroho, dengan harga konon dibawah 4,5 Milyar sewaktu dibeli oleh pemilik lama.

Pada akhir bulan Maret dan di awal bulan April, kunjungan beberapa elite partai, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (Muhaimin Iskandar), Partai Gelora (Fahri Hamzah), Partai Gerindra (Ahmad Muzani), salah seorang menteri (Basuki Hadimuljono), dan mantan Gubernur DKI Jakarta (Basuki Tjahja Purnama atau Ahok) ke “Mas Wali” Gibran cukup menjadi penanda bahwa kota Solo patut diberi perhatian, bahkan diperhitungkan. Termasuk pemberian nama jalan untuk Tol Jakarta – Cikampek dengan mengambil nama dari Putra Mahkota UEA, Sheikh Mohamed bin Zayed (MBZ). 

Apakah berbagai “serangan” di atas hanyalah kebetulan belaka? Bagaimana membaca hal itu dalam konteks masa lalu Jogja untuk Indonesia masa kini?

Penting untuk dicatat bahwa Jogja yang semula menyatu dengan Solo, lewat Perjanjian Giyanti pada 1755, mendirikan keraton tandingan dalam bentuk Kesultanan dengan Sultan Hamengkubuwono I sebagai pemegang kuasa separuh negaragung dan mancanegara Mataram. Dua tahun kemudian keraton tandingan lainnya didirikan di Solo lewat Perjanjian Salatiga dan dilanjutkan dengan pendirian keraton Pakualaman di Jogja pada masa pemerintahan sementara Inggris di Jawa (1811-1816) (Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak. Radikalisme di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti, 1997). Padahal sebelumnya Solo hanyalah sebuah desa yang pada 20 Februari 1745 dijadikan sebagai pusat kerajaan Jawa dengan ditandai oleh perpindahan keraton kerajaan dari Kartasura menuju Surakarta yang berjarak sekitar 10 km. Perpindahan itu menandai pula bertahtanya dinasti raja-raja Jawa dari Keraton Surakarta Hadiningrat yang bergelar Pakubuwana atau “Sumbu Dunia”. Keraton yang pada peringatan 200 tahun pendiriannya pada bulan April 1939 disebut sebagai “Istana Surakarta, Yang Terindah di Muka Bumi” itu kini justru hanya tinggal bangunan bersejarah atau cagar budaya yang tak mudah lagi untuk dibayangkan sebagai “Ibukota Surakarta Hadiningrat” [John Pemberton, “Jawa”. On The Subject of “Java”, (Yogyakarta: MataBangsa, 2003)].

Menarik bahwa MBZ pernah ditawari langsung oleh Jokowi untuk menjadi dewan pengarah ibu kota baru di Kalimantan Timur. Itulah mengapa komitmennya untuk berinvestasi di Lembaga Pengembangan Investasi (LPI) bernama Indonesia Investment Authority (INA) mencapai USD 10 miliar atau setara dengan Rp 140 triliun (asumsi kurs Rp 14.000) setelah ditelpon Jokowi. Bukankah hal itu menandakan bahwa kuasa Jokowi, dengan keluarga besarnya, telah dibentuk oleh bahasa dan kebudayaan yang sejak tahun 2005 telah mendudukkannya sebagai Walikota Solo, kemudian menjadi Gubernur DKI pada tahun 2012 dan memuncak sebagai Presiden RI pada tahun 2014? Itu artinya, sebagaimana dikaji oleh Benedict Anderson dalam bukunya berjudul Kuasa-Kata (2000) atau Language and Power (1990), bahwa “bahasa bersamalah yang menumbuhkan nasionalisme ketimbang nasionalisme yang menjadikan terbentuknya suatu bahasa bersama” (hlm. 420).