KEMERDEKAAN 1945-2025 REVOLOESI PEMOEDA DI TAHUN-TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR

Seminggu sebelum merayakan HUT 80 Tahun kemerdekaan RI, Jenderal Purnawirawan Presiden Prabowo, nampaknya, merasa gelisah, dan membuat pernyataan “Perang Dunia di Depan Mata, RI Tidak Punya Pilihan Selain Kuatkan Militer.”1 Prabowo menilai RI harus memperkuat militer, termasuk menambah markas Kopassus dan membentuk Kodam baru, karena Perang Dunia dianggap sudah di depan mata.
Sementara, Harian Kompas (9 Agustus 2025) yang berdiri sejak 28 Juni 1965,- terkenal dengan “Kata-kata Mutiara” terpasang di halaman muka yang berbunyi “Amanat Hati Nurani Rakyat” - menyebar-luaskan berita lewat kartun “Joni dan Poni” kepada para pembaca budimannya untuk ikut memandang si Joni dan Poni yang bertampang “gelisah” sedang naik sejenis “roket” atau “jet tempur” atau apapun juga namanya, dengan moncong bertulisan “5.12%” sedang terbang ke langit dengan asap hitam tebal berisi tulisan
Penerimaan Pajak Turun
Penjualan Otomotif Lesu
Perlambatan Kredit Bank
Gelombang PHK
Tarif Trump
Apakah, dan mungkinkah, kegelisahan Presiden Prabowo seperti diungkapkan di atas juga terjadi karena akhir-akhir ini sedang menghadapi seruan mahasiswa dengan tagar #Indonesia Gelap pada bulan Maret 2025. Boleh jadi hal itu sejenis dengan perasaan gelisah Sutan Syahrir sekitar akhir tahun 1945 yaitu saat berakhirnya kekuasaan rejim militer “pendudukan Jepang” di Indonesia. Waktu itu kolonialisme Belanda belum kembali berkuasa di Indonesia (d/h Hindia Belanda). Sementara saudara sebangsanya, Indonesia, sudah memulai perjuangan revolusi kemerdekaan RI yang berdaulat. Sesungguhnya, kata “gelisah” yang dialami Sutan Sjahrir tidak mudah dicari padanannya dalam Bahasa Inggris yang bisa meliputi anxious (cemas), trembling (gemetar), unmoored (tanpa pegangan), expectant (menanti-nanti). Ada sesuatu sedang menjelang. (Anderson 2015, hlm,188)
Hal tersebut menjadi catatan penting mendiang Ben Anderson (1936-2015), kalau para pembaca budiman ingin tahu lebih dalam bagaimana nasionalisme yang diperjuangkan para pemoeda revolusioner Indonesia - pada masa silam yang sering diberi “cap” kaum “ekstremis” atau “anarkis” - berhasil mengguratkan atau “menubuatkan” sebuah masa menjelang demi sebuah negara bangsa berdaulat, RI, menghadapi “negara kerajaan” kolonial Hindia Belanda.
Memang, ada beberapa macam cara untuk “putar-balik” menafsir dengan perayaan berdasar kebanggaan masa lalu - mengikuti gagasan Clifford Geertz yang menulis Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali. Geertz berpendapat bahwa negara bagian pra‑kolonial Bali adalah sebuah tontonan yang terorganisasi. Tulisnya, “power served pomp, not pomp power". Mengikuti pandangan Geertz, ada kecenderungan para pemegang kekuasaan untuk terlebih dahulu menggunakan wewenang dan sumber daya guna menciptakan kemegahan (pomp) yang memukau, demi memastikan tercapainya kekuasaan yang diinginkan. Seperti yang ditulis Geertz: power served pomp, not pomp power (Kekuasaan menyediakan kemegahan, bukan kemegahan menyediakan kekuasaan). Mengikuti pandangan Geertz, ada kecenderungan para pemegang kekuasaan untuk putar balik dengan terlebih dahulu menggunakan wewenang dan sumber daya guna untuk menghasilkan kemegahan (pomp) supaya massa rakyat terpukau demi memastikan kekuasaan yang diinginkan.
Misal, patut dicermati dengan cerdas tentang perayaan-perayaan tipikal HUT (ke-80, 2025) Kemerdekaan RI menjelang tanggal 17 Agustus; yang berupa modernisme teatrikal populer. Baru-baru ini, terjadi pementasan aksi teatrikal di CFD Jakarta (!) Tentang Serangan Umum Surakarta (Kompas, 11 Agustus 2025). Caption foto di CFD itu berbunyi "Sejumlah aktor dari komunitas Roodebrug Surabaya (!) menampilkan aksi teatrikal Serangan Umum Surakarta (!) saat hari bebas kendaraan bermotor di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta (Minggu, 10 Agustus 2025). Aksi teatrikal CFD yang digelar sebagai peringatan Hari Veteran sekaligus memperingati HUT Ke-80 tersebut bertujuan untuk mengenang perjuangan kemerdekaan Indonesia akan menumbuhkan rasa cinta Tanah Air kepada warga." Pada koran dan hari penerbitan yang sama dimuat foto dari monumen "Kebulatan Tekad" atawa "Tugu Proklamasi Rengasdengklok" (didirikan 1950), Karawang (Kompas, 11 Agustus 2025). Foto yang dibuat oleh Agus Susanto wartawan Kompas itu diberi caption "Wisatawan berfoto di depan Monumen Kebulatan Tekad di Desa Rengasdengklok Selatan, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat" (Minggu, 10 Agustus 2025).2
Beberapa pementasan teatrikal monumental sebagai kenang-kenangan 80 tahun peristiwa sekitar kemerdekaan RI 1945, biasanya, juga dipanggungkan di Jogja (Serangan Oemoem 1 Maret 1949), di Surabaya berkaitan dengan "Hari Pahlawan 10 November 1945, dan masih banyak aksi teatrikal lain yang dipanggungkan di banyak kota Indonesia.
Perlu kejelian dan kecerdasan tertentu untuk membuat kajian banding tentang Perjuangan kemerdekaan nasionalisme para Pemoeda Revoloesioner (1945-1949), yang sebenarnya, bahkan, bukan sebuah “revolusi sosial” seperti yang terjadi di Paris dan Perancis tahun 1879. Aksi dan gerakan pemoeda reolusioner (1945-1949) tidak sama saja, misalnya, dengan “aksi dan gerakan” mahasiswa dalam Peristiwa Reformasi Mei 1998. Jangan terlalu berharap bahwa Reformasi 1998 adalah sebuah “revolusi” melawan kelas sosial elitis dengan target menghapus “KKN” tapi bukan Kuliah Kerja Nyata, tetapi Korupsi Kolusi Nepotisme, sebagai politik busuk rejim militer Orde Baru yang berkuasa lebih dari tiga dasa warsa sejak tahun 1965an. Peristiwa politik “1998" bukan sama saja dengan perjuangan revolusi pemoeda “1945” Alih-alih yang ada malah saat “jurnalisme dibungkam, sastra bicara” dan lahir sebuah cerpen Seno GA berjudul “Clara” yang terbit dalam buku “Iblis Tidak Pernah Mati.” (Seno G.A. 1999). Bahkan lokasi “Penembakan Mahasiswa “oleh OTK (“Orang Tak diKenal”) saat “Reformasi 1998" yang diduga aparat Negara dalam “Tragedi Semanggi” di depan Kampus UAJ Jakarta, nampaknya, mulai akan menjadi perpanjangan ajang “Pujasera” CFD ceria dari Jalan Thamrin Jakarta.
Memang globalisasi dan digitalisasi komunikasi dan informasi modern mendorong beberapa ahli sejarah dan antropologi mutakhir sering juga saling melengkapi bahwa: sejarahwan biasa lebih memperbincangkan hal keadilan, dan antropolog mengenai hal kebenaran. (Rafael & Barker, 2000) - hal yang juga berlaku untuk melakukan kajian banding “peringatan” tentang “Delapan Puluh Tahun Kemerdekaan Negara Bangsa RI.”
Maka, kembali ke rasa gelisah Prabowo - Presiden RI kedelapan(!), sesudah dua periode Jokowi - adalah tugas penting dan mendesak Prabowo untuk mempertimbangkan catatan dan komentar mendiang George Mc.Turnan Kahin. Pilihan “Angkat senjata” pada tahun 2025 untuk dan masa menjelang negara bangsa RI berkelanjutan patut dan perlu disimak dengan jeli dan cerdas. Kecukupan SDM militer, pembangunan markas baru dengan luas lahan tertentu, tambahan dana sekian banyak triliunan rupiah (hanya) lewat ABPN apakah mencukupi? Selama satu dasa warsa terakhir ini, beberapa kesatuan ABRI ikut dalam kegiatan “food estate”. Misalnya Douglas Gerrard yang menulis “The World’s Largest Deforestation Project,3 London Review of Books, 8 Agustus 2025. Artikel ini melaporkan bahwa Indonesia sedang melakukan proyek deforestasi terbesar di dunia di Merauke, Papua Barat, dengan mengalihfungsikan tiga juta hektare hutan seluas Belgia menjadi perkebunan tebu dan sawah, mengancam menggusur 50 ribu penduduk adat serta melepaskan lebih dari 780 juta ton CO₂. Proyek Strategis Nasional ini dijalankan di bawah Presiden Prabowo Subianto dengan dukungan militer dan pengusaha besar, melanjutkan pola perampasan tanah, transmigrasi, dan kerusakan lingkungan yang sebelumnya terjadi lewat proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).
POLRI-pun, misalnya Kapolres Gunungkidul (AKBP Miharni Hanapi) minta dan/atau diminta Bulog DIY ikut jual-beli beras demi industri "ketahanan pangan." Ibu Miharni Hanapi ikut mensukseskan Gerakan Pangan Murah bersama Bulog Yogyakarta untuk menstabilkan pasokan dan harga beras melalui pasar murah yang melibatkan seluruh Pilsek di Gunungkidul. Baru sehari seteahnya, Kompas (14 Agustus 2025) menuliskan bahwa di Jakarta, Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo meluncurkan Gerakan Pangan Murah serentak di seluruh Indonesia dengan penyaluran 2.424 ton beras SPHP di 1.552 titik untuk 484.977 penerima. Program ini bertujuan menstabilkan pasokan dan harga beras di bawah atau setara HET, dengan target total penyaluran 1,3 juta ton dan evaluasi mingguan sesuai arahan Presiden.
Berangkat dari rasa gelisah, POLRI Pusat memperluas pengawasan hukum tata niaga beras dari oplosan ke penimbunan. Hal seperti itu bikin resah (gelisah) para pelaku bisnis gabah dan beras. Sudah sejak 12 Agustus 2025, Kapolri menerbitkan Surat Telegram ke Kapolda seluruh Indonesia untuk ikut dalam “Gerakan Pangan Murah” - misal di Sidoarjo, Jawa Timur - untuk menghadapi kelangkaan dan kenaikan harga bahan pangan, khususnya beras (Kompas 15 Agustus 2025).
Bagaimanapun juga, toh ada “kegelisahan” tertentu di kalangan elit penguasa sipil dan TNI&POLRI dan Kelas Menengah. James Siegel, seorang antropolog, memaparkan tentang melemahnya peran Kelas Menengah - kalau mengikuti gagasan “hirarki” perbedaan kelas sosial - Atas, Menengah, Bawah - dalam masyarakat. Maka, menarik untuk mengamati gejala dan peristiwa “validasi organisasi militer” akhir-akhir ini - yang tentunya sudah direncanakan dan dipersiapkan beberapa bulan sebelumnya - dan akhirnya dikukuhkan secara resmi hanya satu minggu sebeum HUT ke 80 Kemerdekaan RI.
Menghadapi kenyataan berdasar pernyataannya tersebut, Prabowo mengatakan merencanakan penambahan beberapa markas Kopassus dan enam Kodam baru. Validasi dilaksanakan pada Upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer di Lanud Suparlan, Pusdiklatpassus Kopassus, Batujajar, Bandung, Jawa Barat, Minggu 10 Agustus 2025. Kodam baru, dan enam Grup Kopassus (Kompas, Minggu, 10 Agustus 2025).
1. Grup 1 Kopassus Markas di Serang, Banten,
2. Grup 2 Kopassus Markas di Solo,
3. Grup 3 Kopassus Markas di Dumai, Riau,
4. Grup 4 Kopassus Markas di Penajam, IKN Kaltim,
5. Grup 5 Kopassus Markas di Kendari, Sulawesi Tenggara
6. Grup 6 Kopassus Markas di Timika, dekat tambang tembaga & emas P.T. Freeport.
7. Mako (Markas Komando) Kopassus, tetap di Cijantung, Jakarta
Gubernur Sulawesi Tenggara bahkan - berjanji - untuk menyiapkan lahan sekitar 200 hektare untuk pembangunan markas baru Kopassus di wilayah Kolaka–Kendari. Gubernur menyatakan langkah ini mendukung rencana strategis TNI, seiring proyek-proyek besar lain seperti Food Estate di Merauke yang juga melibatkan militer.4
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal (Mayjen) Kristomei Sianturi saat dihubungi Kompas untuk diwawancarai lebih lanjut soal ”penggemukan” struktur organisasi TNI itu belum menjawab.5 Tetapi berikut adalah pengumuman resmi daftar Kodam yang baru:
1. Kodam XIX/Tuanku Tambusai yang meliputi wilayah Riau dan Kepulauan Riau,
2. Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol (Sumatera Barat dan Jambi), dan
3. Kodam XXI/Radin Inten (Lampung dan Bengkulu) dengan Pangdam Baru Kristomei Sianturi
4. Kodam XXII/Tambun Bungai (Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan),
5. Kodam XXIII/Palaka Wira (Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat), dan
6. Kodam XXIV/Mandala Trikora yang berpusat di Merauke, Papua Selatan (Provinsi baru sejak 2022).6
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen Wahyu Yudhayana memberi penjelasan bahwa pembentukan kodam baru merupakan bagian dari strategi TNI AD untuk memperkuat Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Dengan demikian, kodam baru akan memiliki kemampuan lebih untuk berbuat bagi masyarakat dan mendukung stabilitas daerah.” Bung Karno, tahun 1963 pernah berpidato tentang bahwa dirinya adalah “Penyambung Lidah Rakyat.” Semoga pidato tersebut juga menjadi dasar “keterangan tertulis” dari Brigjen Wahyu (Kompas, 9 Agustus2025).
Maka dari itu, betullah gagasan dan saran George McTurnan Kahin (1918–2000), yang pada tahun 1991 sempat menerima “Bintang Jasa Pratama.” Setelah Kahin diusir dari Indonesia pada tahun 1949 ketika sedang melakukan penelitian tentang “Nasionalisme Indonesia”; kemudian dia segera membantu beberapa diplomat muda Indonesia seperti Sumitro Djojohadikusumo, Soedarpo Sastrosatomo, dan Soedjatmoko selama mereka bekerja di PBB dan di Washington, D.C. Kahin juga menjalin hubungan dekat dengan Soekarno dan Mohammad Hatta, Presiden. Bahkan sempat “mengunjungi” Bung Karno dalam pengasingan di Bangka pada tahun 1949.
Ketika Kahin ditanya mana yang lebih penting, angkat senjata atau diplomasi dalam revolusi Indonesia? Kahin (2017) menjawab kedua hal tersebut memang sesuatu yang mendasar. Tetapi, pertanyaan itu mengabaikan suatu hal, unsur ketiga, yang sangat fundamental. Kalian perlu memiliki gerakan nasionalisme yang sungguh berakar dalam masyarakat; yang mampu membangkitkan kesadaran politik. Maka perlu diperhitungkan aksi-aksi dari tokoh-tokoh seperti Bung Karno, Hatta, Sjahrir Tan Malaka dan para pemimpin Islam nasionalis yang senantiasa sudah mempersiapkan kancah revolusi itu sendiri! Bukan sekedar perjuangan militer dan diplomasi yang akan membuat sukses. Unsur ketiga inilah: kebangkitan nasional(isme) adalah kondisi utama (absolut) bagi kedua unsur yang lain untuk menjadi effektif (Kahin, 2017:112 dan Kahin, 2003: 111).
Menarik juga untuk memperhatikan gagasan salah satu pembaca Kompas dan menulis dalam “Surat Kepada Yth. Redaksi” tentang apa artinya (logo) “HUT ke 80 Kemerdekan RI.” Penulis bernama Hardi Yan (Tembilahan, Kab. Indragiri Hilir, Riau) yang tentu saja tidak mengenal dan tidak dikenal oleh semua para pembaca Kompas - meskipun mereka itu semua boleh dinamakan warga “Nasionalisme Komunitas terbayangkan” seturut gagasan Ben Anderson. Warga negara bangsa RI dari Riau tersebut menganalogikan lambang logo resmi perayaan HUT RI ke-80 sebagai ekspresi bola mata dan mulut yang terheran-heran (dan gelisah) melihat kondisi bangsa dan negara kita hari ini. Mungkin, belum sebegitu menggelisahkan seperti "merakyat"nya si Mugiwara atawa "Topi Jerami."
Maka dari itu, kembali ke hal dan masalah “GELISAH” pada awal tulisan ini sebagaimana menghantui Sutan Syahrir, Jim Siegel (1997) mengatakan bahwa dahulu ketka ada peluang kembalinya kekuasaan kolonial Belanda sesudah kekalahan Jepang perang melawan Sekutu (1942). Hal itu menjadi ancaman/kegelisahan yang menghantui para pejuang nasionalis kemerdekaan; bukan karena alasan bahwa mereka takut akan kena hukuman (balas dendam) dari pihak Pasukan Sekutu - Allied Forces - termasuk pasukan Kerajaan Belanda - tetapi karena kedatangan kembali Belanda kolonial tersebut akan menjanjikan dan menyediakan (kembali) kenikmatan, kekayaan dan jabatan atau kedudukan seperti masa silam sebelumnya - Hindia Belanda!7
Bacaan acuan:
Anderson, Benedict
2012 Di Bawah Tiga Bendera. Anarkisme Global dan Imajinasi Anti Kolonial. Serpong, Tangerang Selatan: Marjin Kiri. Diterjemahkan dari Under Three Flags: Anarchism and The Anti-Colonial Imagination. New York, London: Verso Books (2005)
2006 Imagined Communities. Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Revised Edition with new material. First published 1983. Terjemahan Indonesia 2001, Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar
Barker, Joshua., & Rafael, Vicente
2012 The Event of Otherness: An interview with James T. Siegel. Indonesia, 93(April), 11–36.
Kahin, George M
2017 “Equitable Distribution On the Indonesian Revolution,” dalam Baskara T. Wardaya S.J., Ph.D. (Editor), Membangun Republik. Jogja: Galang Press.
2003 Southeast Asia: A Testament. Critical Asian Scholarship. London: Routledge Curson.
Geertz, Clifford
1980 Negara. The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. NJ: Princeton University Press. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Negara Teater. Kerajaan-kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000.
Siegel, James T
1997 Fetish, Recognition, Revolution. Princeton: Princeton University Press.
----------------------------------------------------------
1 Hani Fatunnisa wartawan rmol.id menulis “Perang Dunia di Depan Mata, Prabowo: RI Tidak Punya Pilihan Selain Kuatkan Militer” dan mengutip kata-kata Prabowo “Indonesia tidak mau memihak blok mana pun. Tapi karena itu, tidak ada pilihan lain. Indonesia harus punya pertahanan yang sangat kuat” Sumber: https://rmol.id/pertahanan/read/2025/08/10/675726/perang-dunia-di-depan-mata-prabowo-ri-tidak-punya-pilihan-selain-kuatkan-militer
2 Monumen Tugu Proklamasi yang menjadi tujuan pariwisata masa kini itu dibangun untuk memperingati peristiwa “penculikan Sukarno dan M Hatta” oleh para pemuda sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI. Sumber: Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia. Keluarga Indonesia dalam Politik, (Jakarta: Kelompok Penerbit Gramedia, 2001). Diterjemahkan dari Young Heroes. The Indonesian Family in Politics (Cornel SEAP 1997)
3 Lihat The World’s Largest Deforestation Project. Sumber https://www.lrb.co.uk/blog/2025/august/the-world-s-largest-deforestation-project
4 Lihat La Ode Muh dan Deden Saputra Pemprov siapkan lahan 200 hektar untuk pembangunan markas Kopassus di Sultra. Sumber: https://www.antaranews.com/berita/4877965/pemprov-siapkan-lahan-200-hektar-untuk-pembangunan-markas-kopassus-di-sultra
5 Iqbal Basyari, “Organisasi TNI Membesar, 49 Jabatan Baru hingga Penambahan Kodam dan Grup Kopassus,” Kompas, 9 Agustus 2025. Artikel ini antara lain mengungkapkan pertanyaan, “Apa yang ingin dicapai dengan penggemukan organisasi TNI ini?” Sumber: https://www.kompas.id/artikel/organisasi-tni-membesar-49-jabatan-baru-hingga-penambahan-kodam-dan-grup-kopassus
6 Lihat Militer dilibatkan dalam proyek Food Estate di Merauke, masyarakat adat 'ketakutan' – ‘Kehadiran tentara begitu besar seperti zona perang’ Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cx2ymye345do
7 Lihat James Siegel, 1997. Fetish, Recognition, Revolution. Princeton: Princeton University Press. h.10 & 104