C O V I D J O G J A DI (The) NEW YORK (Times)

C O V I D     J O G J A     DI     (The) NEW YORK (Times)

Dua minggu sesudah Presiden Joko Widodo mengumumkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang berlaku 3-20 Juli 2021 di Jawa dan Bali,  di kota New York, Amerika Serikat, sebuah koran atau Surat Kabar Harian (SKH) setempat, The New York Times (TNYT) terbitan 18 Juli 2021 membuat berita heboh tentang pandemi Corona virus di Indonesia. Kehebohan yang disebar-luaskan lewat media cetak maupun elektronik digital, mungkin juga, bikin panik warga  komunitas pembaca global yang ikut membayangkan berita itu.[1]  TNYT adalah sebuah SKH terbitan New York sejak tahun 1850. Sampai hari ini, selain versi on-line, TNYT masih dicetak sebanyak 1,4 juta copies setiap hari.

 

Tidak terlalu mengherankan bahwa kehebohan pandemi Covid di Jogja tersebut dapat membuat panik pembaca karena TNYT menulis Indonesia menjadi epicentrum nomor satu dunia untuk pandemi Covid-19. Indonesia menduduki ranking pertama, menggusur posisi India dan Brasilia di urutan berikutnya. Menarik, bahwa  peristiwa global ini dimuat di koran TNYT pada 18 Juli 2021, hanya satu bulan menjelang HUT RI ke76. Hal yang nampaknya tidak biasa-biasa saja, ilustrasi tentang kehebohan Indonesia tersebut mengambil contoh foto-foto dan peristiwa kegawatan penanganan para penderita Covid-19 justru di kota Jogja. Hanya sebuah kebetulan? Perlu diketahui, Jogja adalah kota yang menjadi basis perjuangan revolusi kemerdekaan RI antara tahun 1945-1949.

 

Mrazek - peneliti sejarah Indonesia - memaparkan bagaimana para akademisi - termasuk wartawan, fotografer, reporter, dan para profesional sejenis - berusaha merekayasakan gagasan tentang sebuah Happy Land di sebuah koloni, Hindia Belanda. Mengikuti gagasan Mrazek, pembaca koran TNYT, khususnya di New York City (NYC)  atau Amerika Serikat pada umumnya, adalah seperti seseorang yang duduk dalam gerbong kereta atau cabin pesawat; yang bersangkutan akan melhat dan mengamati segala sesuatu, yang di luar sana - sebalik kaca atau sebalik jendela - membuat kita seperti oang yang terlindung dalam sebuah bunker! Aman, nyaman!

 

 

Jogja di New York City

Kabar kehebohan dan kepanikan tentang kematian akibat serangan Covid di Jogja dilengkapi dengan “amunisi” berupa delapan ilustrasi fotografis berkaitan dengan penanganan korban pandemi Covid-19 di kota Jogja. dan khususnya di RSUP Dr. Sarjito yang dikelola UGM. Sumber foto-foto tersebut dikirim oleh wartawan The New York Times yakni Ulet Ifansasti. Menarik bahwa delapan foto-foto tersebut memberi pesan tentang keterpaksaan manusia untuk “mengalami” kematian; dan almarhum atau almarhumah yang bersangkutan meneruskan “hidup” mereka di alam-baka, yang kalau dalam budaya Jawa disebut alam “sing ora ono, ono” atau “sing ono, ora ono” (Yang tiada, ada. Yang ada, tiada”).

 

Tentu, bagi para pembaca berbahasa Indonesia yang memandang foto-foto, keterangan (caption) foto, dan membaca teks TNYT edisi 18 Juli 2021 tentang peristiwa pandemi Covid-19 yang mematikan tersebut, perlu memahaminya dengan waspada, jeli dan cerdas mengingat kekhususan penggunaan bahasa Inggris menggunakan pentingnya tenses. Semua produksi foto adalah bahan “masa lalu” ...yang sudah lewat , “yang sudah hilang.” Sebuah “representasi” foto -jargon beberapa ahli komunikasi- “mengabadikan” apa yang dibidik dan direkam dalam sehelai “foto” itu.[2]

 

Foto pertama yang adalah gambar beberapa pasien Covid-19 yang terpaksa dilayani dan dirawat di bawah tenda di lapangan RSUP Dr. Sardjito, di dalam Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). RSUP Dr. Sarjito ini berstatus Kelas A Pendidikan Utama Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), dan menjadi rujukan nasional (Sebagian dari foto seperti diatas, caption atau “keterangan foto” asli dalam bahasa Inggris: “Covid-19 patients in a tent outside Dr. Sardjito General Hospital in Yogyakarta, Indonesia, on Thursday. Credit...Ulet Ifansasti for The New York Times)

 

Foto kedua memberi keterangan bahwa pada “awal bulan Juli yang sudah lewat, ketika persediaan oksigen rumah sakit itu habis, ada 33 pasien telah meninggal dunia.” (Earlier this month, 33 patients at Dr. Sardjito General Hospital   d i e d   when its central oxygen supply  r a n  o u t.   ~ Credit...Ulet Ifansasti for TNYT)

 

Foto ketiga menggambarkan sekumpulan pasien yang mengenakan oksigen di tenda darurat rumah sakit Sardjito DIY. Dalam foto tersebut diperlihatkan seorang nakes (tenaga kesehatan)  yang sedang memeriksa tabung oksigen dengan keterangan bahwa menurut pengakuan dari keluarga korban bahwa beberapa rumah sakit Indonesia, pernah,  hanya menerima pasien jika membawa tabung oksigen sendiri. ( Family members  s a i d  some Indonesian hospitals  w e r e  accepting only patients who b r o u g h t  their own oxygen. ~ Credit...Ulet Ifansasti for TNYT

 

Foto keempat menunjukkan warga masyarakat sedang mengantri mendapatkan vaksin,  di kebun binatang DIY dengan keterangan gambar bahwa selama ini (baca: masih akan berkelanjutan) baru 15 persen dari masyarakat Indonesia yang baru menerima vaksin. (A vaccination center at a Yogyakarta  zoo. Only about 15 percent of Indonesians have gotten even one shot. ~ Credit...Ulet Ifansasti for The New York Times

 

Foto kelima berfokus pada salah satu pasien perempuan yang menerima suntikan vaksin dari nakes yang keduanya sama-sama berjilbab; dengan keterangan bahwa  Indonesia  sangat bergantung pada vaksin Sinovac yang selama ini dianggap kurang efektif dibanding produk vaksin yang lain. (Indonesia has relied heavily on the Sinovac shot, which has been found to be less effective than others. ~ Credit...Ulet Ifansasti for The New York Times)

 

Foto keenam dan tujuh menegaskan pernyataan - dan pertanyaan - bagaimana  hal dapat terjadi - dari pihak wartawan TNYT bahwa sudah banyak korban yang meninggal akibat Covid-19 di Indonesia. Kehadiran banyak peti mati yang sedang dibuat oleh relawan pada gambar enam, deretan jenazah yang sudah dibungkus dengan kain kafan dan deretan peti yang menunggu mayat penghuninya, divisualisasikan foto-foto termaksud.  Caption foto ketujuh menambahkan data bahwa Indonesia pada awal Juli 2021 sudah mencatat ada lebih dari 71.000 pasien Covid yang meninggal. (A volunteer made coffins to be distributed to Yogyakarta hospitals. Indonesia has reported more than 71,000 Covid-19 deaths ~ Credit...Ulet Ifansasti for The New York Times)

 

Foto delapan memperlihatkan peti mati yang sedang diangkut ke sebuah mobil jenazah di Kelurahan Mangun Jiwo oleh dua orang yang menggunakan APD yang lengkap. (Carrying a coffin into an ambulance in Yogyakarta. ~ Credit, Ulet Ifansasti for The New York Times)

 

Selain “pameran” foto-foto dari Jogja tersebut, wartawan TNYT juga masih menambahkan “kehebohan” dengan mengutip -dan hal itu tidak salah- pendapat para ahli kesehatan dari luar negeri; misal Australia, bahwa data angka-angka yang dilaporkkan ”sebenarnya” bisa menjadi tiga sampai enam kali lipat.  Argumen tersebut berdasar bahwa “akibat sedikitnya populasi yang sudah di test” ...mengingat  “keterbatasan” (kalau bukan “belum makmur” atau belum kaya” negara bangsa Indonesia. TNYT juga khusus memberi komentar bahwa -agak memihak dalam persaingan dengan Tiongkok- dengan 270 juta orang sebagai populasi total, sampai bulan Juli 2021, atau sekitar 16 bulan sesudah pandemi Covid mulai mengglobal, baru sekitar 15 percent dari WNI yang sudah menerima vaksin Covid. Menurut alasan (dugaan?) wartawan TNYT- salah satu “kelemahan” Indonesia adalah karena sebagian besar vaksin yang digunakan adalah buatan Sinovac Biotech, sebuah perusahaan di Tiongkok yang selama ini dianggap berfungsi kurang efektif dibanding vaksin merek lain. TNYT juga masih menambahkan bahwa minggu itu AS menghadiahkan 4,5 juta doses vaksin Moderna kepada Indonesia. Minggu itu para pejabat berwenang di Indonesia menyatakan vaksinasi produksi Amerika Serikat diprioritaskan untuk sekitar 1,5 juta tenaga kesehatan.

 

Jogja di Jakarta

Tidak kalah hebohnya, kurang lebih pada hari yang “sama”- dengan perbedaan waktu 12 jam - pada halaman pertama SKH Kedaulatan Rakyat (KR) pada tanggal 19 Juli 2021 menulis, “Dalam Penanganan Covid-19, Mendagri Tegur 19 Provinsi” dan termasuk di antaranya DIY. Tulis wartawan KR, “Mereka ditegur karena realisasi anggaran untuk penangan Covid-19 hingga insentif tenaga kesehatan (nakes) masih rendah. Padahal dananya sudah disediakan” (KR & Kompas 18 Juli 2021) dan “Mendagri Tegur Keras 19 Kepala Daerah Terkait Dana Penanganan Covid-19. Kompas.com - 18/07/2021, 18:05 WIB). Bukan rahasia publik bahwa Gubernur DIY yang dipilih tanpa sebuah proses Pemilu, adalah juga Sultan HB X. Kalau KR (19 Juli 2021) tidak takut meneruskan berita bahwa DIY termasuk salah satu  dari 19 Pemda yang kena teguran Dep. Dalam Negeri, nampaknya memang sudah ada perhitungan tertentu.

 

Data dari Kementerian Dalam Negeri, teguran tertulis yang keras itu disampaikan kepada kepala daerah berikut ini: Sumatera (1. Provinsi Aceh 2. Provinsi Sumatera Barat 3. Provinsi Kepulauan Riau 4. Provinsi Sumatera Selatan 5. Provinsi Bengkulu 6. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung).  Jawa (7. Provinsi Jawa Barat dan 8. Provinsi DI Yogyakarta). 9. Provinsi Bali 10. Provinsi Nusa Tenggara Barat. 11. Provinsi Kalimantan Barat 12. Provinsi Kalimantan Tengah. Sulawesi (13. Provinsi Sulawesi Selatan 14. Provinsi Sulawesi Tengah 15. Provinsi Sulawesi Utara 16. Provinsi Gorontalo) 17. Provinsi Maluku 18. Provinsi Maluku Utara 19. Provinsi Papua

 

Menarik bahwa berita-berita tentang pandemi Covid yang dimuat di TNYT, KR, dan Kompas, justru disebar-luaskan ke publik sesudah Pemerintah mengumumkan PPKM Darurat  sejak tanggal 3Juli 2021 dan akan  berakhir (rencananya) pada  20 Juli 2021. Pro-kontra PPKM Darurat juga segera menjadi berita mengglobal seperti sebaran virus Covid yang sudah bermutasi lebih canggih dan ganas. Maka tidak mengherankan kalau di kalangan orang muda milenial ada yang “kreatif” menganggap bahwa pandemi virus Covid ini diimajinasikan sebagai tokoh “Impostor” dalam salah satu game digital on-line.[3]

 

Fotografi Jogja

Tulisan  ini adalah hasil pengamatan etnografi dan fotografi di lapangan, tepatnya di sebagian jalan-jalan di seputar Kampus Bulaksumur UGM. Peranan dan pengaruh perkembangan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) modern sangat mewarnai pengamatan ini. Sejak mulainya pandemi global Covid-19 di Indonesia pada awal Maret 2020, melahirkan suasana, situasi dan kondisi dalam masyarakat yang serba tidak-pasti, ragu, membingungkan, atau malah untuk beberapa orang yang mampu memahami, dengan memakai istilah  “disrupsi inovatif” kalau yang bersangkuta  berhasil melakukan optimalisasi dalam bidang kerjanya mengatasi kepanikan pandemi ini.

Pengamatan dilakukan selama berlakunya PPKM Darurat (3-25 Juli 2021), yang kemudian sampai dua kali mengalami perpanjangan yaitu mulai tanggal 25 Juli - 2 Agustus, 2021. Perpanjangan ketiga yaitu mulai tanggal 2 Agustus 2021 sampai dengan 10 Agustus 2021. Dalam pengamatan lapangan ini, peneliti Realino membuat riset etnografi dan fotografi tentang Pro-Kontra PPKM Darurat.

 

Kalau meminjam pesan Susan Sontag (1933-2004), seorang warga kota New York,[4] dalam bukunya On Photography, dia menyatakan,

Kamera yang kini ada di mana-mana cenderung mempengaruhi bahwa waktu sesaat  mempunyai peristiwa-peristiwa menarik, yang bernilai untuk difoto (h.11). Sebagaimana sebuah kamera disublimasikan bagai senapan, memotret seseorang adalah juga sublimasi pembunuhan -sebuah kehalusan pembunuhan untuk merujuk bahwa bahwa waktu adalah sesuatu yang menyedihkan, mengancam (h.15).

 

Tambah lagi, peneliti Realino yang melaporkan dan menulis dalam web berikut ini, sepenuhnya sadar bahwa spanduk, baliho, poster, dll sejenisnya yang dipasang di pinggir jalan wilayah Bulasksumur dan Gejayan berbeda dengan maksud dan tujuan para pemasang atau produsen spanduk, baliho, dll. itu yang mengandaikan “obyek” (produksi) mereka itu dipandang, dilihat, diperhatikan dan dipahami oleh banyak orang yang lalu-lalang di sekitarnya.

 

Sementara untuk maksud dan tujuan laporan dan tulisan dalam web ini, “object” jalanan tersebut masih perlu difoto lebih dahulu melalui berbagai jenis kamera, baru sesudahnya diproduksi berkelanjutan demi penerjemahan, tafsiran atau gaung yang diharapkan dapat menyediakan imajinasi bersama yang dibutuhkan oleh komunitas-komuntitas terbayangkan demi memajukan nasionalisme dalam sebuah negara bangsa R.I. Peneliti Realino dan web yang diproduksi juga waspada dan terbuka untuk keberatan (objection) terhadap hal-hal dan masalah yang menjadi “object” - bersumber foto-foto dari TNYT, Kedaulatan Rakyat, Kompas, dll. - dari penelitian etnografis berikut ini.[5]

 

Globalisasi Pandemi Covid  dan Etnografi Spanduk PPKM Sagan-UGM

Kawasan Kampus Bulaksumur UGM (Universitas Gadjah Mada) memang menegaskan diri sebagai sebuah kampus akademis yang dalam arti tertentu memang membedakan diri dengan gaya dan cara hidup sosial, ekonomi dan budaya dengan masyarakat umum di kota Jogja - tentu saja berdasar Tri Dharma[6] sebuah Perguruan Tinggi. Kampus UGM mempunyai batas-batas kawasan geografis dengan rencana tata ruang khusus, demi kegiatan politik, ekonomi dan sosial-budaya yang secara optimal mendukung kegiatan Tri Dharma perguruan tnggi. UGM juga mempunyai (sejenis) kawasan College Town di sepotong Jalan Kaliurang.

 

Kehebohan berkaitan dengan hal dan masalah pandemi Covid di New York dan di Jogja, khususnya di lingkungan kampus UGM, disebar-luaskan pada hari-hari yang bersamaan. Pandemi Covid-19 dan PPKM Darurat mungkin saja akan menambah kepanikan kalangan komunitas imajinasi pembaca Surat Kabar Harian terkait - di New York dan Jogja.  Tentu saja bagi komunitas-komunitas yang membaca SKH Kedaulatan Rakyat, dan sekaligus juga mampu memahami bahasa Inggris untuk membaca TNYT. Kepanikan dalam kerumitan, kebingungan dan kecemasan berkaitan dengan hal dan masalah PPKM Darurat yang dialami warga masyarakat Jogja.

 

Bagi warga masyarakat yang bekerja atau sekedar lalu-lalang di sekitar Kampus UGM Bulaksumur, ketika mereka membaca dan menyadari bahwa ada sebuah spanduk yang tidak takut untuk memprotes dan melawan kebijakan Pemerintah tentang PPKM Darurat. Spanduk perlawanan tersebut “disponsori” oleh pihak yang mampu menuliskan atau “melukiskan” (!) dirinya lewat kata-kata sebagai “Parlemen Jalanan” (sic.). Tambah lagi, entah apa maksudnya dalam “lubuk hati yang paling dalam” dari pihak si (apa) sponsor, ketika di akhir kata-kata pada sepotong spanduk anti PPKM itu ada tulisan dengan tiga kata, “Kimia Farma, Sehat.”

 

Spanduk tersebut dipasang pada salah satu tiang atau kerangka besi dari empat baliho besar yang berlokasi di sisi Barat “Simpang Empat Sagan”, tepatnya di pinggir Pompa  Bensin atau SPBU Sagan, di sisi yang menghadap ke Jalan Kolombo. Sebelum pandemi, baliho-baliho komersial untuk iklan luar ruangan bergiliran dipasang di situ. Spanduk berukuran besar yang dicantelkan pada salah satu kerangka tempat baliho iklan luar ruang memberi pesan pokok menolak PPKM yang berlangsung di sejumlah wilayah di Indonesia untuk mencegah pandemi Covid-19. Spanduk PPKM - kain putih dengan tulisan cat hitam - yang dipasang di sisi utara SBPU Sagan di Simpang Empat UGM tersebut diamati, difoto berulang kali oleh peneliti Realino, baru sejak tanggal 18 Juli 2021. Padahal, PPKM Darurat secara nasional sudah dimulai sejak 3 Juli 2021.

 

Ada kesengajaan, mungkin, bahwa spanduk anti PPKM itu juga dihadirkan pada hari-hari sekitar satu sebulan sebelum peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT-RI) yang ke 76. Pemasang spanduk mengaku diri sebagai “Parlemen Jalanan” - sesuai yang dituliskan pada bagian paling akhir/bawah spanduk yang nampaknya berfungsi sebagai “iklan politik” tersebut. Istilah “Parlemen Jalanan” cukup sering dipergunakan oleh beberapa kelompok demonstran di Jogja, seperti saat demo #GejayanMemanggil pada tahun 2019 dan 2020 yang lalu. [7]

 

Spanduk PPKM produksi “Parlemen Jalanan” tersebut dipasang di sisi selatan  Simpang Empat Sagan-UGM. Perempatan ini menjadi penghubung lalu-lintas dari Jalan Prof. Johanes (arah Utara-Selatan) dan Jalan Kolombo (arah Timur Barat). Dari Simpang Sagan tersebut ke arah Barat melalui Jalan Kolombo adalah lokasi Rumah Sakit Panti Rapih dan Komplek Bulaksumur UGM berada di seberangnya. Jalan Kolombo ke Barat menuju RS Panti Rapih dan Bunderan UGM. Dari Simpang Sagan ke arah Timur lewat Jalan Kolombo, dan sesudah Kampus Universitas Negeri Yogyakarta, akan berujung di Simpang Tiga Gejayan yang sempat menjadi “epicentrum” demo #GejayanMemanggil mulai akhir September 2019 sampai pertengahan tahun 2020 yang lalu. Bagi orang-orang atau warga yang lewat-naik motor dan mobil - di Simpang Empat Sagan - UGM yang bersebelahan dengan Kampus Bulaksumur UGM, sangat besar kemungkinan juga melihat atau memandang beberapa spanduk yang sudah dipasang sebelum atau sesudah diberlakukannya PPKM Darurat di tepian SPBU Sagan itu.

 

Spanduk Komunitas Kampus Bulaksumur UGM

Berikut adalah keterangan dari kolase sembilan spanduk dan baliho yang berkaitan dengan UGM.  Di kawasan Bunderan UGM, pada sisi pagar miliknya, Rumah Sakit Panti Rapih (RSPR) memasang dua spanduk yang memberi informasi tentang pentingnya perawatan kehamilan seorang ibu, “Pantau kesehatan sang buah hati mulai dari kandungan hingga pertumbuhan 1000 hari secara maksimal.” Spanduk yang lain  menulis “RSPR menawarkan Rapid Test Antigen Rp.170.000 dan PCR Swab Test Rp. 750.000” dan “Mari Ikuti Vaksinasi Covid-19.” Sementara, dua hari sebelum HUT RI ke-76, Presiden Joko Widodo sudah menurunkan harga PCR menjadi Rp 450.000 sampai Rp 550.000.

 

Di daerah Gerbang Utama Kampus Bulaksumur UGM di sisi timur Bunderan UGM, dipasang tiga baliho tentang:  PPSMB UGM (2-14  Agustus 2021) yang menawarkan “Ragam Kreasi UGM Pancarkan Pesona Pertiwi. Baliho kedua berpesan tentang tentang penawaran “GeNose Service” di lokasi UC Hotel, seharga IDR 40.000. Perlu diketahui, salah satu alat medis untuk mendeteksi penularan Covid-19, GeNose, adalah produksi UGM.[8]  Di sampingnya berdiri baliho ketiga dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sebagai lembaga resmi pemerintah RI dalam urusan keuangan ikut memberi pesan di depan pintu gerbang resmi masuk ke Kampus UGM dengan kata-kata “Memutus Mata Rantai Virus Covid-19 dengan mengikuti Protokol Kesehatan.”

 

Sampai dengan awal bulan Agustus 2021, di pinggiran sepanjang Jalan Prof. Yohanes - sesudah Simpang Empat Sagan -UGM, menuju Gerbang Lembah UGM, paling tidak ada lima spanduk yang dipasang oleh pihak-pihak yang terkait dengan UGM. Spanduk pertama mengumumkan bahwa tentang penundaan “pasar senggol” atau pasar tiban” setiap hari Minggu di kawasan Bulaksumur UGM. Pasar Senggol yang juga dikenal sebagai SunMor (Sunday Morning) untuk sementara ditiadakan mulai 30 Mei 2021, sampai waktu yang belum dapat ditentukan.

 

Di sisi selatan samping gedung Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi (BPFE-UGM), dipasang sebuah spanduk yang berbunyi, “Rumah Zakat Infaq Shodaqoh (R-Zis) UGM UPZ BazNas. Menerima dan Menyalurkan Zakat (Fitri/a, Maal, dll), Infaq, Shodaqoh, Fidyah. Situasi Pendemo Covid-19 memerlukan banyak bantuan dana Zakat, Infaq dan Shodaqoh Bapak/Ibu/saudara Muslim.”

 

Di seberang jalan gedung BPFE-UGM adalah lokasi “UGM Residence” dan “Gerbang Plaza.” Di situ ada yang dinamakan “Taman Kearifan” yang juga disebut “Wisdom Park,” Sebuah baliho dengan kata-kata, “Anda masuk Taman Kearifan, Berlakulah Arif.” Sebuah spanduk berbunyi, “Kawasan Wajib Memakai Masker,” Spanduk lain yang diproduksi dalam kerjasama dengan GERMAS, menulis “CITA MAS JAJAR” (redaksi: singkatan dari “cuCI TAngan pakai MASker, JAga JARak) sambil berpesan “Mari terapkan ADAPTASI KEBIASAAN BARU. Cegah Covid-19.” Masih di pagar pintu masuk ke gerbang Wisdom Park tersebut sebuah spanduk bertulisan, “Dalam rangka memutus rantai penyebaran virus Covid-19, kegiatan Olah-raga,rekreasi dan memancing di Area Wisdom Park dan GOR, DITUTUP SEMENTARA - Dari tanggal 3- 20 Juli.

 

Sebuah spanduk bertulisan “Pembatasan Kegiatan di Lingkungan Kampus UGM” dibentangkan di depan pintu masuk ke kampus dari Lembah UGM yang dilengkapi Pos Satpam.  Pintu masuk Lembah UGM adalah akses jalan masuk menuju Masjid Kampus, dan gedung-gedung Fak. Ekonomi, Fak Ilmu Budaya, Fak. Filsafat, dll.

 

Sadar atau tidak sadar, disengaja atau tidak, pesan atau kabar dari spanduk-spanduk di sekitaran sebagian kampus UGM tersebut di atas pada dasarnya adalah mendukung program pemerintah dalam masa pandemi  dengan keseragaman pesan untuk menaati prokes” (prosedur kesehatan) dalam ketaatan melakukan “5 M” dan patuh mengikuti PPKM Darurat. Maksud dan tujuan penulisan dan pemasangan spanduk adalah membuat narasi, bercerita untuk bercita-cita, menyurat masa lampau menggurat masa menjelang. Spanduk bukan alat bantu media massa(l) dengan tujuan mengungkit-ungkit masa lalu. Spanduk akan segera compang camping, hilang, lenyap. Sepotong spanduk, banner, dan sebuah baliho, tidak dimaksudkan untuk mengingat-ingatkan dan mengungkit kegagalan masa lalu, tetapi mengharap keberhasilan untuk masa yang menjelang.[9]

 

Spanduk Warga Komunitas “College Town Gejayan”[10]

Tidak berbeda dengan sikap terhadap PPKM Darurat dari “tetangga sebelah” (kalangan intelektual Kampus UGM Bulaksumur) berbagai spanduk yang ditulis-lukiskan dan dipasang oleh para warga penduduk di sekitar kampus Bulaksumur UGM. Mereka itu adalah penduduk dari kampung-kampung sekitar kawasan Jalan Kolombo (Samirono Baru), Jalan Gejayan-Affandi (College Town Gejayan), dan sepotong Jalan Laksda Adisucipto sampai dengan Simpang UIN (Dukuh Santren, Papringan, Demangan, Komplek Kolombo), juga menunjukkan persetujuan dan “kepatuhan” mereka terhadap kebijakan Pemerintah. Warga kawasan kampung-kampung ini pula yang sempat menjadi saksi aksi demo mahasiswa dengan tagar #GejayanMemanggil.[11] Mereka  patuh kepada kebijakan nasional untuk mengikuti Protokol Kesehatan (Prokes) dalam tindakan selalu menjalankan 5M (Mencuci tangan, pakai Masker, Menjaga jarak, Menghindari kerumunan, dan Membatasi mobiltas dan interaksi).

 

Spanduk yang dipasang warga masyarakat di wilayah pedukuhan Santren, Papringan, Kolombo, Samirono Baru, Mrican memang tidak sekreatif pada tahun lalu pada masa awal Covid-19. Spanduk-spanduk sejenis larangan untuk masuk daerah RT/RW Santren karena - seakan-akan - sedang ada tontonan “Jatilan” (seni tari Kuda Lumping), tidak ada. Semua spanduk pada masa pandemi dan peraturan PPKM Darurat yang dipasang di dukuh-dukuh di KelurahanCatur Tunggal tersebut, pada umumnya berpesan untuk warga masyarakat atau tamu untuk menaati dan mengikuti PPKM Darurat dan menjalankan Prokes dengan 5 M.

 

Di daerah Santren contohnya, mereka mengikuti penggunaan prokes 3M (Mencuci tangan, Menjaga Jarak dan Memakai Masker) sesuai otoritas Pemerintah yang dipasang di depan kantor dan kafe Unikologi. Di perempatan jalan kampung itulah dulu dipasang spanduk-spanduk kreatif untuk menegosiasi aturan “lock-down” menjadi “slow-down” dalam cara berbahasa menghadapi bulan-bulan awal pandemi di Jogja tahun 2020.[12] Di Papringan Kolombo terpasang sebuah spanduk yang memanfaatkan bahasa kalangan muda milenial, dengan menggunakan kata “Impostor.” Spanduk berbunyi, “Jangan Kendor, Masih ada Impostor.” Virus mematikan Covid-19 atau mutasinya, diibaratkan dengan seorang “Impostor” karena dalam beberapa waktu terakhir game online ini yang populer dan dikenal dengan internet game “Among Us” banyak dimainkan oleh generasi milenial. Seorang Impostor di dalam game bertugas menipu, mengacaukan pemain tanpa ketahuan dan membunuh karakter pemain lainnya.[13]  Penggunaan “impostor” nampaknya, sebagai upaya serius - dan kreatif - untuk menyapa  generasi muda kalangan milenial .

 

Sebuah palang pintu yang melarang publik masuk ke wilayah kampung Samirono Baru, dipasangi spanduk kecil dengan kata-kata “Mohon Maaf. Sementara Jalan Ditutup. Cegah Penyebaran Covid-19.” Spanduk cukup panjang dan lebar di kawasan RW 04 Mrican yang berdampingan dengan kampus Universitas Negeri Yogyakarta, menulis: “MRICAN, Kawasan RW04 Mrican. Wajib Pakai Masker. Bersama Lawan Corona. Jangan Mudik Dulu, Tetap di Rumah. Hindari Kerumunan, Kenakan Masker, Jaga Jarak, Jaga Kebersihan, Jaga Kesehatan. Warga RW 04 Mrican. Mengherankan bahwa  tidak ada spanduk dari warga pedukuhan tersebut di atas yang menggunakan bahasa Jawa - bahasa sehari-hari  warga Jogja. Spanduk dan poster yang dibuat oleh warga tersebut tidak lagi menggunakan bahasa ibu (bahasa Jawa), tetapi menggunakan bahasa Indonesia yang mampu meredam “rasa rikuh” dan “minta keistimewaan” dalam sebuah masyarakat plural. [14] Penggunaan bahasa Indonesia dalam pesan spanduk, nampaknya memudahkan mereka untuk mendukung program nasional berdasar kebijakan Pemerintah tentang PPKM Darurat yang digalakkan Pemerintah sejak 3 Juli 2021.

 

Ketika banyak jalan di kota Jogja mengalami penyekatan dalam rangka mendukung PPKM Darurat - atau PPKM Level 4 - pada hari Jumat, 30 Juli 2021 toh berlangsung demo penolakan PPKM yang dilakukan oleh Mahasiswa - sebagian memakai atribut HMI -di salah satu tempat favorit demonstrasi yaitu di Simpang Empat UIN.  Demo mulai sekitar pukul 13, sesudah sholat Jumat, dan selesai dengan teratur sekitar pukul 18an. Menurut sekelompok polisi yang sedang berjaga di situ demo ini tanpa ijin. Empat jalan di Simpang Empat UIN tidak ditutup, lalu-lintas tetap berjalan pelan-pelan di sisi para pendemo. Jumlah pendemo hanya sekitar 50 orang. Pendemo melontarkan slogan-slogan anti PPKM Darurat seperti: kegagalan Pemerintah selama dua tahun mengurus pandemi Covid-19, hutang negara semakin membengkak, dst.

 

Kuasa Hasrat Kerakyatan - Spanduk  “Parlemen Jalanan”

Dari bahasa Perancis, kata “parler” berarti "berbicara," kata “parlemen” menyejarah dan  menjadi lazim berarti “badan legislatif” di mana lembaga eksekutif sebuah pemerintahan secara konstitusional bertanggungjawab kepada parlemen. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), dalam Pranala (link):https://kbbi.web.id/parlemen, én/  - parlemen adalah badan yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang dipilih dan bertanggung jawab atas perundang-undangan dan pengendalian anggaran keuangan negara; dewan perwakilan rakyat.

Maka, menjadi menarik untuk jeli memaknai mengapa dan bagaimana mungkin spanduk anti PPKM dapat dan boleh dipasang di tepian SPBU Sagan. Sesudah sebulan lebih mulai terpasang di lokasi SPBU Sagan, bentuk spanduk PPKM milik “Parlemen Jalanan” menjadi compang camping. Menjadi pertanyaan bagi peneliti Realino - dan mungkin juga bagi para pembaca budiman yang lain -masih efisien dan efektifkah spanduk “parlementaria” seperti itu untuk berkampanye dan menghasilkan sebuah kesadaran masyarakat sesaat dan setempat? Kira-kira dua minggu sesudah dipasang, spanduk tersebut semakin sulit untuk dilihat, dipandang dan dibaca oleh para pengendara mobil dan motor yang lewat. Sampai selama sebulan lebih, tidak ada berita dari koran atau media lokal maupun nasional yang menulis berita tentang spanduk menghebohkan itu. Satu hari sesudah perayaan HUT ke 76 Kemerdekaan RI, tanggal 18 Agustus 2021, spanduk termaksud masih bergantung di SPBU Sagan, bentuknya sudah begitu compang-camping dan tak terbaca lagi kata-kata yang tertulis di situ. Dari kejauhan, spanduk tersebut sangat sulit dipandang atau dibaca oleh para motoris yang lewat atau menunggu lampu hijau perempatan itu. Nampaknya. juga  tak ada pihak-pihak yang merawat sejak awal, atau menggantinya dengan yang baru, atau bahkan untuk menurunkannya dari tempat pemasangan yang tidak legal, tidak semestinya.  Mengingat kegiatan di sekitar SPBU yang hampir 24 jam, sebenarnya, tidak terlalu sukar untuk mencari tahu siapa atau apa  yang memasang spanduk itu di ketinggian kerangka besi tempat pemasangan baliho iklan luar ruangan.  Perlu diketahui, SPBU Sagan sudah selama lebih dari lima tahun belakangan ini tidak beroperasi karena mendapat  “hukuman” dari pihak Pertamina.

Menarik untuk memperhatikan pilihan kata-kata apa yang digunakan oleh “Parlemen Jalanan” untuk dituliskan pada selembar spanduk dari kain putih, dengan tulisan dari cat Piloxwarna hitam tersebut:

                        Kalian Bergaji,

                        Kami harus kerja tiap hari

                        PPKM Tai

                        Sebatas Parlemen Jalanan

                        KIMIA FARMA SEHAT

 

Menarik juga bahwa si pembuat spanduk meminta pemakluman dari publik dengan menulis - sebagaimana biasanya sebuah  “tanda-tangan” - bahwa dia atau mereka adalah “Sebatas Parlemen Jalanan.” Mungkin, si pembuat spanduk tersebut juga merasa cukup jeli dan cerdas dengan masih menambahkan kata-kata  “KIMIA FARMA SEHAT” pada kalimat terakhir spanduk. Cerdas karena dengan konteks pandemi Covid-19 dan variannya, ditambah aturan PPKM Darurat atau PPKM Level-4, spanduk itu memaparkan “kesehatan” sebuah BUMN  industri  farmasi - yang tentu saja kenal slogan “gaji” atau uang itu tidak berbau.

 

Sejak kehebohan dan panik tentang pandemi Covid-19 dan ketersediaan obat, vaksin, dll. di Indonesia, Menteri BUMN Erick Tohir, acap kali dipertanyakan sikap altruisme atau tanpa pamrih dalam dirinya selama mengurus BUMN termaksud.[15]. Dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Erick menyangkal terkait pengadaan vaksin berbayar. Erick mengatakan bahwa ia sangat mendukung pengadaan vaksinasi gotong-royong, bukan berbayar, demi segera selesainya PPKM. Itu sebabnya pesan dan gerakan pihak sponsor spanduk PPKM di SPBU Sagan tersebut, nampaknya, berusaha menjadi “penyambung lidah rakyat” sebagai kalangan yang harus kerja setiap hari. Rakyat kecil, misal pedagang kaki-lima, pelaku UMKMt, tenaga kerja harian, dll. Yang tidak memiliki gaji tetap  sehingga mereka harus tetap bekerja harian di luar rumah, demi menyambung hidup.

 

Namun, ada salah satu kata penting yang digunakan spanduk tersebut yaitu kata “tai” sesudah kata “PPKM.”  Dalam kehidupan sehari-hari, kata makian ini lebih sering untuk tidak dipaparkan secara tertulis, tetapi diucapkan lewat mulut seseorang yang merasa jengkel, kecewa dan marah ... kepada diri sendiri atau orang lain.[16] Maka menjadi pertanyaan - atau pernyataan yang bersifat ambigu atau ironis - bahwa mengapa dan bagaimana mungkin spanduk PPKM di lokasi SPBU Sagan-UGM memilih kata “representatif” dari sisa buangan hasil pecernaan perut  manusia yang menebar bau busuk, menyajikan pemandangan atau imajinasi jorok, menjijikkan, dst. Patut dipertanyakan dan diteliti si/apakah pemasang spanduk PPKM termaksud? Kalaupun dari kalangan “civitas academica” sebuah kampus PTN maupun PTS - dengan Tri Dharma - kemungkinan besar ada agenda strategi atau taktik tertentu untuk ikut terlibat dengan kepentingan sepihak yang ada  dalam situasi dan kondisi  “Zaman Bergerak” dalam masa pergolakan politik ekonomi dan kebudayaan global (maupun nasional) seperti saat pandemi Covid-19 dan varian mutasinya.  

 

Sejak tahun 2018, dan sebelum pandemi Covid-19 merebak di seantero penjuru Indonesia, beberapa demontrasi, unjuk-rasa, atau aksi bergerak dari kalangan mahasiswa dan orang muda turun ke jalan di Jogja. Mereka bergerak untuk mengkritik atau bahkan melawan kebijakan Pemerintah RI, khususnya dibawah kuasa otoritas Presiden Jokowi. Selama bergerak, beberapa demo tidak takut untuk menulis - tidak langsung lisan berteriak - kata makian khas kaum anarkis kepada polisi dengan kata-kata ACAB (All Cops Are Bastards). Mereka juga berani menggunakan dan menulis berbentuk grafiti memaki Pemerintah DIY - termasuk DPRD - dengan menggunakan simbol dan kata-kata jorok yang melanggar kepantasan sopan-santun publik dalam tradisi masyarakat Indonesia, Jawa khususnya.[17]  Dapat saja kalau ada pakar komunikasi yang berargumentasi  bahwa spanduk sejenis PPKM di SPBU sekedar sejenis “click bait” dalam sebuah promosi atau propaganda (politik) marketing (komersial)  - dengan kepentingan sepihak masing-masing sponsor.

 

Terpengaruh gaya “kebudayaan pop,” nampaknya, seminggu terakhir dalam bulan Juli 2021, SKH Kompas (edisi cetak 23 Juli 2021) menyediakan diri untuk memuat iklan sebuah perusahaan dagang yang ikut-ikutan- kalau bukan latah - memanfaatkan simbol (dan mitos) “PPKM.” Hari itu, koran Kompas memasang iklan (seperempat halaman koran) bertajuk “PPKM”dari perusahaan dagang global UNILEVER yang bekerja sama dengan INDOMARET. Dua perusahaan dagang tersebut “menerjemahkan” PPKM sebagai “Pekan Promo Kantong Hemat.”

 

Tambah lagi, hanya berselang dua hari, koran Kompas cetak (25 Juli 2021), saat menjelang berakhirnya perpanjangan PPKM Level 4 periode tersebut, juga ikut(ikutan) memasang iklan (ukuran seperempat halaman juga) untuk promosi “obral” buku-buku terbitan Kompas-Gramedia. Boleh dikatakan bahwa group perusahaan besar Kompas-Gramedia memanfaatkan kebiasaan “plesetan berbahasa”[18], dengan menulis “Promo PPKM - Pas untuk Penuhi Kebutuhan Membacamu.  Koleksi Buku Kompas DISKON 25 %. Berlaku hingga 31 Juli 2021 - S&K Berlaku.”[19] Maka, kalau mengikuti slogan atau bahkan “manifesto” pihak pengusaha ekonomi kapitalis yang akrab dengan semboyan “pecunia non olet” - “uang itu tidak berbau.” Sebuah semboyan yang meminta kepatuhan warga masyarakat- tanpa terkecuali kelas sosial yang dimiliki atau dikenakan - sebagaimana dituntut Pemerintah pemegang otoritas “gawat-darurat” untuk menangani pandemi dan mengatur PPKM yang dipersyaratkan dalam situasi dan kondisi negara bangsa Indonesia dalam konteks politik ekonomi dan kebudayaan global. Kreatifitas marketing dan iklan PT Unilever- Indomaret dan Kompas-Gramedia ini dapat dimaklumi dengan dalih bahwa pengusaha sebagai pemilik modal memang selalu perlu (otoritas) orientasi pada laba dan keuntungan - dan sementara waktu itu(!) - masih tetap sejalan dengan kebijakan PPKM pemerintah.

 

Spanduk PPKM  dan Masyarakat Majemuk Tanpa Otoritas Tunggal

Spanduk dan baliho yang dipasang di pinggir jalan(an) di sekitar kampus Bulaksumur  UGM maupun di kawasan sekitar “College Town Gejayan”[20] yang termasuk dalam Kelurahan Catur Tunggal, pada dasarnya  juga menerjemahkan atau mungkin lebih tepat “menggaungkan” otoritas sejenis dengan spanduk dan baliho atau banner yang diumumkan atau disiarkan oleh pihak Pemerintah. Tiga pemegang otoritas sebuah negara bangsa  yaitu: Presiden, Menteri Dalam Negeri dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 adalah pihak-pihak berwenang yang resmi memberi nama, arti, dan pedoman demi meminta kepatuhan warga.

 

Spanduk dan baliho di sekitaran Kampus Bulaksumur UGM dan kampung atau pedukuhan di sekitaran Jalan Gejayan/Affandi (College Town Gejayan), sesungguhnya juga memanfaatkan dan ikut memiliki “otoritas” untuk meminta publik mematuhinya. Dalam arti tertentu, hal itu tidak jauh berbeda dengan sebuah poster atau flyer virtual yang disponsori oleh “Indonesia Baik” dan Kemenkominfo ketika ada perubahan tentang peraturan kebijakan PPKM Darurat menjadi PPKM Level-4 mulai tanggal 22 Juli 2021. 

 

Tidak dapat dipungkiri bahwa memang ada banyak narasi tragedi (dramatis) terkait Covid-19 yang melanda Indonesia saat ini. Namun, sebagai rakyat Indonesia dengan kekhasan masyarakat majemuk yang dilengkapi dengan lingua franca bahasa nasional, bahasa Indonesia -khususnya masyarakat Jogja- tidaklah perlu ikut-ikutan panik jika fotografi drama tragis atau tragedi terkait pelayanan Covid-19 di Indonesia dianggap mengusik pandangan mata dunia internasional melalui media sosial cetak maupun on-line. Berkat rekayasa teknologi modern juga, The New York Times punya kesempatan dan biaya untuk menjadi merasa penting dan mendesak  untuk ikut mengulasnya pada salah satu rubriknya dengan  “stock shots” para fotografer - yang bergaji - untuk diterbitkan dan disebar-luaskan di kota metropolitan kosmopolit New York.[21] Tambah lagi, narasi fotografi tersebut potensial untuk dipercaya oleh kalangan media sosial tertentu  mampu  merepresentasikan aneka tragedi penanganan Covid-19 di Indonesia - bersumber foto- foto yang diambil dari “sasaran tembak” di Yogyakarta. Artinya, kondisi penanganan Covid-19 di Yogyakarta - dianggap - dengan pengandaian sudah cukup untuk menggambarkan keadaannya di puluhan provinsi lain yang ada di kepulauan Indonesia.

 

                                                                           * * *

 

Dalam penelitian dan hasil laporannya, peneliti cenderung sering segera berkesimpulan bahwa di Indonesia - juga di Jogja - ada usaha-usaha dari pihak tertentu untuk mendominasi hidup dan gerak suatu komunitas yang ada. Temuan penelitian atau jajak pendapat termaksud memetakan berlangsungnya konflik (benturan atau perlawanan) untuk meraih otoritas (kekuasaan) dengan sekedar berkiblat pada salah satu atau beberapa ikatan primordial -SARa (kelas Sosial, Agama, dan Ras)- yang memang menjadi sisi rawan dan rapuh dari sebuah masyarakat majemuk. Memperhatikan dengan cermat dan cerdas, “konflik” pemasangan spanduk di kawasan UGM dan sekitarnya, manipulasi dan eksploitasi primordialisme otoritas agama maupun politik nampaknya tidak mampu melakukan dominasi otoritas tunggal.

 

Tiga kelompok spanduk yang dipasang di sekitaran: Kampus Bulaksumur UGM, di beberapa kampung atau pedukuhan sekitar “College Town Gejayan,” Desa Catur Tunggal dan spanduk milik “Parlemen Jalanan” (meskipun cuma satu potong), bagaimanapun juga bergantung pada sesuatu “otoritas” yang dapat dilacak “bau” asal-usulnya. Spanduk “PPKM Tai” milik “Parlemen Jalanan” sebenarnya juga berdasarkan gagasan terbayangkannya “bau yang tidak berbau.”[22] Spanduk PPKM Tai tidak menyangkal, mengetahui dan memaklumi -recognition- bahwa ada beberapa komunitas pemilik spanduk berbeda dan menganggapnya “tanpa bau”; atau abai bahwa uang untuk membayar “gaji” ada asal-usulnya. Atau, jangan-jangan, tokoh yang memaklumkan diri “Parlemen Jalanan” tersebut juga membawa-bawa perasaan ikut menjadi khawatir, takut dan bahkan menghindar ketika pada saat dan tempat yang tepat massa rakyat atau masyarakat di sekitarnya ternyata tidak menolak dan dapat “patuh” dengan otoritas (lembaga eksekutif atau Pemerintah) negara bangsa Republik Indonesia. 

 


            [1]           Benedict R.O.G’ Anderson, Komunitas-komunitas Terbayang. Imagines Communities (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 2001).

            [2]           Sebagai catatan, memperhitungkan kemungkinan akan adanya “tuntutan hak cipta dari TNYT dan si fotografer, editor tulisan ini mempersilakan para pembaca mencari sendiri foto-foto tersebut; misal lewat Google, bersumber dari “The Pandemic Has a New Epicenter Indonesia”, The New York Times, 18 Juli 2021.

            [3]           Covid diibaratkan dengan “Impostor” dengan merujuk salah satu game online populer (Among Us) yang banyak dimainkan oleh generasi milenial. Impostor di dalam game bertugas menipu, mengacaukan pemain tanpa ketahuan dan membunuh karakter pemain lainnya.

            [4]           Susan Sontag, 1973/1978, On Photography. New York, Farrar, Straus, and Giroux. 3th Printing.

            [5]           Tim Litbang Realino berterimakasih kepada James Siegel dengan bukunya, Object and Objection of Etnography, (New York: Fordham University Press, 2011) untuk bekal gagasan penelitian etnografi. Isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung-jawab peneliti Realino.

            [6]           Tri Dharma Perguruan Tinggi, secara singkat berisi tiga hal yaitu: Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, dan Pengabdian kepadaMasyarakat

            [7]           Istilah “Parlemen Jalanan” juga dipakai oleh  Aliansi Rakyat Bergerak (ARB ) dalam demo berjilid  #GejayanMemanggil di Jogja. Mereka mengatas-namakan diri sebagai “parlemen jalanan. Lihat, A.Windarto, Arta E.A, Budi Susanto SJ, Yunanto S, Menjadi (1945-2020) Merdeka #GejayanMemanggil Si/Apa, (Yogyakarta: Sanata Dharma University Press & L.S. Realino, 2020), h.155.

            [8]           Meskipun akhir-akhir ini masih diperdebatkan akurasinya, GeNose sudah diperjual-belikan dengan harga antara Rp. 60 juta sampai dengan Rp. 80 juta. Alat yang nama panjangnya Gadjah Mada Electronic Nose ini diklaim mampu mendeteksi virus COVID-19, hanya sekitar satu menit lebih sedikit.

            [9]           James Siegel, op. cit., h.91.

            [10]         A.Windarto, Arta E.A, Budi Susanto SJ, Yunanto S, op. cit., 53

            [11]         Ibid., h.75

            [12]         Beberapa contoh spanduk kerakyatan di pedukuhan Santren, misal, pernah dipasang spanduk dengan kata-kata: (1) Corona jahat kayak mantan #Dirumah aja. (2) Jaga kesehatan, kamu belum nikah sama aku. (3) Corona Dilarang Masuk (4) Maaf Jalan Ditutup. Ada Jatilan 24 Jam. Ibid., h.75

            [13]         Menurut Psikolog Klinis UGM, Tri Hayuning Tyas, S.Psi., M.A., apa yang dinamakan “impostor syndrome” atau “impostor phenomenon” merupakan fenomena psikologis dimana seseorang tidak mampu menerima dan menginternalisasi keberhasilan yang diraih. Orang yang mengalami impostor syndrome selalu mempertanyakan dirinya sendiri atas pencapaian atau prestasi yang telah diraih. Ia merasa kesuksesan yang berhasil diraih merupakan bentuk dari keberuntungan atau kebetulsan semata, bukan karena kemampuan intelektual diri. Lihat, “Psikolog UGM Paparkan Fakta Impostor Syndrome,” sumber internet: https://www.ugm.ac.id/id/berita/20226-psikolog-ugm-paparkan-fakta-impostor-syndrome

18 Oktober 2020, 13:35 WIB Oleh: Ika

            [14]         Lihat, James Siegel,“Berbahasa,” dalam Sadur. Sejarah Terjemahan

Di Indonesia Dan Malaysia. Henri Chambert Loir (ed.), (Jakarta: K.P.Gramedia, 2009), Ecole

Francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris, Pusat Bahasa, Universitas Pajajaran.

h.339-342.

            [15]         Lihat majalah mingguan Tempo, edisi 25 Juli 2021, membahas secara khusus peran Erick Tohir, Menteri BUMN RI.

            [16]         Boleh jadi, pilihan cerdas menggunakan kata “tai” adalah sekedar padanan kata “shit” dalam bahasa Inggris - khususnya di masyarakat Amerika Serikat - yang lebih sering diucapkan langsung lewat mulut. Bagi kalangan “kelas sosial” tertentu yang akrab dengan “bahasa Inggris ala USA, padanan kata “tai” tersebut punya sifat dan dampak yang lebih “ringan” dibanding kata-kata makian “empat huruf” lainnya.

            [17]         Grafiti “Bunuh Sultan” (di Simpang UIN, 2018), grafiti berupa kata makian dengan jenis hewan tertentu di baliho di Simpang Tiga Gejayan (2019/2020), gambar dan kata-kata pengganti untuk alat kelamin laki-laki dan perempuan di tembok pagar depan Gedung DPRD DIY - Malioboro (2019). A.Windarto, Arta E.A, Budi Susanto SJ, Yunanto S, op. cit., 169.

            [18]         Silakan menikmati sajian Google yang memberi kreatifitas bagi para netizen untuk membuat satire, lelucon dan hiburan lainnya dengan ketik “meme PPKM.”

            [19]         Sementara itu, kalau pembaca waktu itu - mungkin masih sampai sekarang - mengklik Google dengan kata “PPKM meme” dan memilih “Image/gambar” akan mendapat sajian banyak meme heboh tentang kata-kata itu.

            [20]         Tulisan etnografi yang lebih rinci mengenai CTG, A.Windarto, Arta E.A, Budi Susanto SJ, Yunanto S, op. cit., 53

            [21]         TNYT, koran yang didistribusikan secara internasional dan dimiliki oleh perusahaan The New York Times Company ini juga menerbitkan 15 koran lainnya, antara lain International Herald Tribune dan Boston Globe. TNYT diterbitkan di New York oleh Arthur Ochs Sulzberger Jr.

            [22]         Sejak beberapa tahun yang lalu, produksi bau-bauan yang disebut “odorless perfume” mulai didistribusikan dan dikonsumsi oleh kelas sosial tertentu.