PULANG KE (In)TOLERANSI DI JOGJA

PULANG KE (In)TOLERANSI DI JOGJA
“Malya-bhara” (dulu) “Malioboro” (sekarang) sumber: google

Anicetus Windarto

Lagu “Yogyakarta” dari Kla Project yang diawali dengan kata-kata “Pulang ke kotamu” dengan mudah akan dikait-kaitkan dengan Jalan Malioboro misalnya, sebagai ikon paling populer.

 

Selama ini Jalan Malioboro yang tepat di jalur lurus sebelah utara keraton milik dinasti Hamengku Buwono (Jawa: “Pemangku Dunia/Alam Semesta”) sulit dilepaskan dari ingatan mereka yang berkunjung ke kota Jogja atau resminya, “Yogyakarta.”

 

Ahli sejarah dari Inggris, Peter Carey (Komunitas Bambu, 2015) menulis bahwa Jalan Malioboro adalah sebuah jalan istimewa yang digunakan untuk tujuan seremonial. Sebuah tempat atau jalan (bhara) yang perlu dilalui para tamu istimewa untuk berkunjung ke keraton HB pada saat tertentu dihiasi dengan “untaian bunga” (malya) atau sejenisnya. “Malya-bhara”, kini mudah dinamai “Malioboro.” Di jalan utama kota (raja marga) inilah, para tamu “kenegaraan” disambut dengan penuh khidmat dan hormat oleh para penguasa dinasti HB. Tak jarang juga, “pasukan kehormatan” yang lengkap dipersenjatai, tetapi aman, penuh dengan jaminan suasana “toleran”, ikut menyambut si/apa-pun tamunya.

 

Kini, setelah lebih dari 200 tahun, jalan yang membentang dari Selatan ke Utara itu masih jadi tempat perlintasan dari para tamu dari luar Jogja, bahkan luar Indonesia. Itulah mengapa dan bagaimana Malioboro tak ada kaitan dengan nama pahlawan Kerajaan Inggris atau merek rokok Marlboro. Kata dan jalan Malioboro adalah tempat dan saat tepat bagi para pengunjung kota Jogja untuk menikmati suasana yang “tidak bikin rikuh, atau perlu sodor-sodorkan sebuah cermin ke hadapan” sesamanya. Adalah keistimewaan penggunaan kata-kata bahasa nasional Indonesia: “kami dan mereka” tidak perlu mengakibatkan intoleransi karena ada sebuah kata penuh kuasa, yaitu “kita.” Benar bahwa jalan Malioboro dan Jogja pada umumnya sungguh istimewa karena punya kekuatan dan peluang untuk jejak langkah dalam menghargai hak-hak asasi manusia (HAM), demokratisasi dan nasionalisme warga Negara Indonesia pada awal hidup merdeka (1945 - 1949) mereka.

 

Menarik bahwa sejak dua tahun terakhir ini - dengan Pilkada 2018 dan Pemilu-Pilpres 2019 - ingatan kenyamanan Jogja dan Malioboro termaksud mulai dipertanyakan / membingungkan, dengan berbagai pemangkiran sikap dan aksi toleransi di Jogja. Penting untuk dicatat bahwa toleransi bisa dimaknai sebagai upaya yang menuntut "penderitaan" - dari "Sesama yang Lain". Tetapi hal itu juga bisa bermakna sebagai upaya yang bersumber dari sinkretisme.

 

Pada tahun 2014 Jogja sempat dipudarkan sebagai kota paling tak toleran nomor dua di Indonesia oleh The Wahid Institute (kini Wahid Foundation). Sementara untuk tahun 2019 ini Jogja masih masuk dalam 10 besar kota paling tak toleran - sejak 2017 - berdasar laporan Setara Institute.

 

Pengalaman aksi dan gerakan intoleransi yang dapat dilawan dalam perjuangan nasionalisme kemerdekaan RI (1946-1949) yang disumbang HB IX secara rohani dan jasmani perlu diteruskan dan diusahakan oleh si/apapun pemangku kota Jogja dan Jalan Malioboro. Dalam tulisan Ben Anderson (terbit awal dalam bahasa Inggris,1965) mengenai “Toleransi Orang Jawa” seperti tersurat dan tersirat dalam  imajinasi seni-budaya pewayangan. Dalam budaya pewayangan, toleransi dan harmoni bukan sesuatu yang tidak rapuh, sesuatu yang juga mudah pecah. Tetapi, sebaliknya juga hal itu dapat bersemi dari suatu rasa hormat akan keanekaragaman dan kepribadian manusia sekaligus. Asal jangan cepat merasa rapuh untuk tetap berbahasa yang jangan bikin rikuh dan tak sodor-sodorkan cermin di hadapan sesama yang lain.