PANGGILAN KEMERDEKAAN SI/APA TERDENGAR (1945-2020) DI GEJAYAN
Hanya Orang Tuli yang Dapat Mendengar dengan Baik
Epilog Engineers of Happy Land:
Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni
(Mrazek,, Hermojo,2006)
Baru saja negara-bangsa Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan yang ke 75. Satu tahun sebelumnya, sejak minggu terakhir September 2019 sampai dengan akhir bulan Agustus 2020, ada lima jilid undangan demo berlangsung di Jogja; yang sempat menjadi awal ibu-kota RI. Dua demo berlangsung sampai akhir tahun 2019. Semula ter/di-sebar dugaan bahwa dua demo dengan undangan (#Gejayan Memanggil) tersebut akan mempengaruhi dan menggagalkan pelantikan presiden RI terpilih, tanggal 20 Oktober 2019. Banyak orang tahu, khususnya pengguna med-sos, bahwa Pemilu Pemilihan Presiden yang berlangsung 7 bulan (23 September 2018 - 13 April 2019) berlangsung cukup “brutal,” dan membawa perseteruan berkepanjangan antara pihak yang pro presiden terpilih - Jokowi - dengan pihak yang kontra. Tiga jilid demo berikutnya berlangsung selama wabah pandemi Covid-19 berlangsung sejak awal Maret 2020 sampai pertengahan Agustus ini. Sebuah kebetulan (?) bahwa demo kelima berlangsung hanya tiga hari menjelang perayaan HUT negara bangsa R.I. yang ke-75.
Kajian etnografi yang selama ini dikerjakan oleh Lembaga Studi Realino (LSR) tentang masyarakat dan kebudayaan Indonesia, tidak akan melupa terhadap jasa besar tiga soko-guru SEAP (South East Asia Program) yang tujuh puluh tahun lalu (September 1950) didirikan di Cornell University, Ithaca, New York. Mereka itu adalah George Mc.Turnan Kahin (1918-2000), Benedict R.O’G. Anderson (1936-2015), dan James T. Siegel (1937- sekarang). Berdasar pengalaman lapangan dan buku-bukunya, mereka bertiga menyumbang pemahaman penting dari masa silam masyarakat dan kebudayaan Nusantara untuk Indonesia yang menjelang.
Salah satu pesan penting dari pak Kahin yaitu bahwa hal membangun, mengembangkan dan menjaga negara bangsa Indonesia, tak cukup hanya dengan dua pilihan: angkat senjata dan diplomasi politik saja. RI juga memerlukan gerakan nasionalisme yang mendahului kedua hal itu, yaitu sesuatu yang berakar dalam hati rakyat, yang mampu mengundang rakyat untuk bangkit, dan bergerak dalam kesadaran politis. Lembaga Studi Realino (LSR) menyajikan kabar web berikut ini sebagai “angsuran hutang-budi” yang mungkin tak akan pernah tuntas untuk peran SEAP-CU, khususnya CIMP (Cornell Modern Indonesia Project) dalam ikut mengembangkan kedaulatan negara-bangsa Indonesia.
#Gejayan Memanggil I (23 September 2019)
TAnda paGAR (Tagar) #Gejayan Memanggil sudah beredar di media-sosial (medsos) Twitter, dan sehari sebelum demo (Minggu, 22 September 2019 sore) telah berhasil mencatat ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di DIY yang “sanggup” untuk berkumpul di Jalan Gejayan, Senin, 23 September 2019. Demo mahasiswa Yogyakarta yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) terpusat di Simpang Tiga Gejayan, pada ujung Timur Jalan Kolombo.
Beberapa tuntutan yang disampaikan ARB, antara lain: 1. Mendesak penundaan atau membahas ulang pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP, 2. Menolak pelemahan KPK, 3. Menuntut negara untuk mengusut pengerusakan lingkungan, 4. Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan, 5. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Salah seorang Koordinator ARB mengatakan - dan ditulis wartawan Liputan6.com - bahwa aksi hari tersebut adalah bagian dari kegelisahan (cetak tebal dari penulis) publik. Ada persoalan rakyat dari Sabang sampai Papua yang menyangkut regulasi yang dibuat eksekutif dan legislatif; tetapi tidak berpihak pada rakyat. Sempat juga dikatakan bahwa pemilihan Gejayan sebagai lokasi aksi mahasiswa juga tidak bisa dilepaskan dari momentum bersejarah yang terjadi di Gejayan pada 1998. Kondisi objektif saat ini dengan tahun itu sama karena muncul tindakan represif.
Seperti yang dialami salah satu founding fathers, Ben Anderson mencatat tentang pengalaman Sutan Syahrir yang “gelisah” dalam masa perjuangan tahun-tahun awal kemerdekaan RI. Ben Anderson mencatat, pada akhir 1945, dua bulan sesudah Pendudukan Jepang di Indonesia berakhir, sekaligus masa ketika kolonialisme Belanda belum kembali menancapkan kekuasaannya, Sutan Syahrir menggambarkan kondisi saudara sebangsanya yang memulai revolusi ini dengan istilah gelisah. Inilah kata yang tidak mudah dicari padanannya dalam bahasa Inggris: makna semantiknya bisa meliputi anxious (cemas), trembling (gemetar), unmoored (tanpa pegangan), expectant (menanti-nanti) - ada sesuatu sedang menjelang.
Ketika demo #Gejayan Memanggil yang pertama berlangsung, Tim Peneliti LSR mewawancarai seorang pemilik kios tambal ban (“NURUT”) di ujung barat Jalan Moses. Kios dia mempunyai papan nama sponsor rokok kretek eksklusive Diplomat - Wismilak. Kepada penulis, dia mengatakan bahwa dirinya saksi mata ketika sore itu (8 Mei 1998) di sepanjang Jalan Gejayan sedang ada sweeping. Sore hari itu, Moses sedang mau cari makan dan dikira dia juga bagian dari para aktivis yang sedang demo untuk menurunkan Suharto. Kata bapak tukang tambal itu, “mana tahu mahasiswa yang sekarang sedang demo tentang Moses, yang jadi nama jalan di sini. Mereka tak tahu bahaya demo seperti waktu itu.”
Seorang penjaga parkir di Jalan Moses - sekitar jam 16 an - saya lihat agak bingung mengatur begitu banyak sepeda motor milik mahasiswa yang akan melihat demo di Jalan Gejayan. Jalan Moses yang biasanya menjadi lahan parkir yang menjadi “kekuasaan” dia, penuh dengan sepeda motor, dan mana mungkin dia akan meminta ongkos parkir seperti biasanya. Seorang temannya berkata, “pulang saja, khan sore ini gak akan dapat uang lagi.”
#Gejayan Memanggil II (30 September 2019)
Berbeda dari gerakan sebelumnya yang didominasi oleh sejumlah akademisi dan ribuan mahasiswa, demo yang berlangsung tanggal 30 September 2019 ini diramaikan dengan kehadiran pelajar, petani dan buruh. Meskipun pada tanggal yang sama di bulan September tersebut, suasana masyarakat Indonesia sering dianggap “tidak kondusif” dengan berbagai keresahan politik yang menghantui, demo di Simpang Gejayan berlangsung aman, tertib, terkendali. Massa aksi hari itu juga menuntut agar oknum dan aparat - baik dari kalangan polisi (POLRI) maupun kalangan tentara (TNI) yang melakukan tindakan kekerasan kepada demonstran di berbagai daerah diadili. Massa juga “Mendorong demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.”
* * *
Sebagai informasi menarik, satu minggu sesudah demo #Gejayan Memanggil jilid kedua, salah satu stasiun televisi di Jakarta milik kelompok Kompas Gramedia, mempunyai produk berbasis kanal YouTube, dengan topik “Kekuatan Mantra #Gejayan Memanggil.” Awal produk itu disebar-luaskan pada 7 Oktober 2019. Kompas TV yang telah memiliki 6,62 juta subscriber/pelanggan. Belum terlalu jelas apakah produk Kompas TV di YouTube tersebut memang memikirkan kata “mantra” tersebut adalah yang sama dengan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, versi daring) yaitu: perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib; misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya. Mantra juga didefinisiskan sebagai susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.
* * *
#Gejayan Memanggil III (9 Maret 2020)
Awal wabah pandemi Covid-19 secara resmi diumumkan secara nasional oleh Pemerintah pada awal bulan Maret 2020. Pada pokoknya, demo jilid ketiga itu adalah menolak pengesahan RUU Omnibus Law. Salah seorang Humas ARB (Aliansi Rakyat Bergerak), menyatakan, demo kali itu membawa pesan beberapa poin mosi parlemen jalanan. ARB juga menyatakan, “rebut kedaulatan rakyat dan bangun demokrasi sejati." Mengatas-namakan para peserta demo, petugas humas ARB berharap supaya pemerintah pusat dapat melihat aksi mereka dan merespon tuntutan mereka.
Spanduk yang diarak dari Bundaran UGM hingga ke Simpang UIN (sumber : dokpri LSR)
#Gejayan Memanggil IV (16 Juli 2020)
Demo #Gejayan Memanggil jilid keempat (16 Juli 2020), beralasan bahwa mereka berkumpul kembali di Simpang Gejayan karena menyaksikan masyarakat Jogjakarta sangat resah dan menolak RUU Omnibus law - sebagaimana dilaporkan media Radar Jogja (16 Juli 2020 ). Sebuah spanduk diarak oleh para pendemo yang bertulisan, “Pandemi Dibajak Oligarki: Lawan Rezim Rakus, Gagalkan Omnibus.” Pihak Humas ARB berpendapat rencana pengesahan RUU Omnibus Law adalah kecacatan. Terlebih adanya iming-iming pembukaan lowongan pekerjaan oleh pemerintah.
#Gejayan Memanggil V (14 Agustus 2020)
Undangan dan peristiwa #Gejayan Memanggil V, berlangsung persis tiga hari menjelang HUT kemerdekaan RI yang 75, nampaknya tepat saat dan tempat di Yogyakarta yang pernah menjadi tempat hijrah ibukota RI (1945-1949). Tambah lagi, hal ini mengingat perjuangan kalangan pemuda (d/h “pemoeda”) dalam konteks jejak-langkah di Yogyakarta.
Bagaimanapun juga, peristiwa kepahlawanan Moses Gatotkaca yang ditandai dengan nama sebuah jalan apakah dapat menggaungkan “kegelisahan” sebuah perjuangan revolusioner? Peristiwa keji (Reformasi) 8 Mei 1998 tersebut, berlokasi tak lebih dari lima puluh meter dari Simpang Tiga Gejayan. Sementara untuk masa kini, Jalan Moses lebih populer dikenal secara meluas sebagai pusat penjualan dan gadai HP.
Tanggal 14 Agustus 2020, sesudah berkumpul di Bunderan UGM, selepas tengah hari para demonstran melakukan “long march” - sepanjang 3 kilometer. Dari Bunderan UGM, melewati gerbang utama UNY di Jalan Kolombo, dan berorasi di Simpang Tiga Gejayan. Dari situ, para demonstran melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir, sekitar jam 16 sampai di Simpang UIN. Banyak orasi disuarakan di Simpang UIN, dengan jalan Laksda Adi Sucipto dan Jalan Petung, Papringan. Seorang dari Tim Peneliti LSR, menjadi saksi mata (dan telinga) ketika salah satu orator dengan suara lantang - dibantu pengeras suara yang diangkut sebuah pick-up kecil - mengeluarkan kata-kata, “Di sini lah titik revolusi!”
Dalam demo sore itu juga dapat dilihat sebuah spanduk yang diarak sejak dari Bunderan UGM sampai ke Simpang UIN, berbunyi, “MERDEKA 100% DARI PANDEMI DAN TIRANI!!” Sebuah poster dipasang di tengah jalan - di atas beton divider - dengan pesan, “Maaf Perjalanan Anda Teganggu. Sedang Ada Perbaikan Negara Physical Boleh Distancing. Tapi Doa Ibu is Everything.” Seorang mahasiswi sempat membagikan selebaran (empat halaman ukuran separuh kertas kwarto) berjudul: “MERDEKA 100% DARI PANDEMI DAN TIRANI!!!”
Penulis selebaran itu adalah “Lingkar Studi Sosialis (LSS),” yang mempunyai banyak perwakilan di sebagian wilayah NKRI.
Warung Tenda Pecel Lele dan Soto Kudus di Jl Laksda Adisucipto (sumber : dokpri LSR)
Pemandangan di sekitar lokasi demo - wilayah kaki-lima sisi sebelah utara Jalan Laksda Adi Sucipto (d/h Jalan Solo), di mana terletak: Halte Jalan Solo (de Britto) untuk penumpang bis Trans Jogja, warung makan tenda ôSeafood & Pecel Lele - Anugerah 99. Ada warung tenda yang cukup besar, “Soto Kudus dan Pindang Kudus - Hj. Inna.” Ada dua pedagang bakpao dengan gerobak dorong (tanpa nama!) yang setia mendampingi para pengikut demo. Sebelum para pendemo datang di Simpang UIN, dan selama demo berlangsung warung-warung makan tersebut sebenarnya sudah buka dan siap melayani pelanggan. Demo berakhir sekitar jam 19-an, dan lalu-lintas kendaraan dalam dua arah di Jalan Laksda Adi Sucipto dibuka kembali.
Panggilan PGAT (Paguyuban Gejayan Ayem Tentrem)
Dalam lima tahun terakhir ini, cukup sering berlangsung berbagai demo yang melibatkan mahasiswa dan kalangan muda lainnya. Di Simpang Gejayan (dengan jalan Kolombo). Para pendemo sering mengatas-namakan rakyat kecil dan buruh. Demo dengan undangan #GejayanMemanggil - khususnya di kawasan College Town Gejayan - membuat tim peneliti LSR - mungkin juga pembaca - menjadi semakin tidak mudah menjawab pertanyaan: siapa dan/atau apa yang mengundang apa atau siapa dengan media berbasis TIK, Tagar # Gejayan Memanggil.
Tidak mengherankan ketika berselang hanya empat hari sejak demo di Simpang UIN, dan hanya sehari sesudah perayaan HUT kemerdekaan RI yang ke-75, berlangsung unjuk rasa yang dilakukan oleh warga Gejayan di Simpang Gejayan - yang berjarak hanya 20 meter dari Stasiun RRI Gejayan.
Puluhan warga Gejayan tersebut membawa beberapa spanduk. Aksi tandingan tanggal 18 Agustus 2020, dilakukan puluhan pedagang, juru parkir dan warga Gejayan Sleman Yogyakarta, Paguyuban Gejayan Ayem Tentrem (PGAT).5 Mereka tegas menolak aksi demonstrasi Gejayan Memanggil oleh para mahasiswa. Beberapa memakaikaos hitam dengan tulisan “#Gejayan Ayem Tentrem,” dan “ #Gejayan Tidak Memanggil.”
Spanduk Pedagang Gejayan yang dipasang 13 Agustus 2020 dan hilang pada 14 Agustus 2020 (sumber : rri.co.id : Wahyu Suryo)
Salah satu koordinator unjuk rasa mengatakan bahwa kata-kata bergaya undangan “Gejayan Memanggil” memberi kesan warga setempat yang memanggil. Mereka merasa dikambing-hitamkan. Seorang juru parkir, pemilik usaha jahit tas, dan tukang potong rambut di sekitar Simpang Gejayan tersebut mengatakan bahwa demo sangat mengganggu warga, menimbulkan kemacetan, pelanggan tidak berani datang, dan menghilangkan penghasilannya sehari-hari. Dalam wawancara dengan tim peneliti LSR, salah satu tukang parkir yang sudah 50 tahun berdomisili sekaligus mencari penghidupan di Gejayan mengatakan tidak setuju dengan aksi mahasiswa yang sering menggunakan Jalan Gejayan untuk berdemonstrasi. “Ini bukan Gejayan Kelabu lagi, Gejayan tidak pernah memanggil mereka berdemo di sini, jadi Gejayan tidak pernah memanggil siapapun berdemo di sini, termasuk mereka,” ujarnya. Ia menyarankan sebagai kaum terdidik seharusnya mahasiswa melakukan aksi di tempat yang sewajarnya seperti di kampus atau dan tidak mengganggu fasilitas umum.
Sebenarnya, PGAT sudah memasang beberapa spanduk pada tanggal 13 Agustus 2020. Akan tetapi, keesokan harinya spanduk-spanduk itu “hilang,” tidak tahu siapa yang “mengambil tanpa seijin pemilik” itu. Pihak ARB menggaris-bawahi dengan sebuah pertanyaan, apakah PGAT - dengan spanduk-spanduk mereka - memang tepat dengan mengatakan bahwa itu diprakarsai warga Gejayan? Dengan demikian, menjadi menarik bahwa akhirnya ada dua “kenyataan” - mungkin lebih tepat “pernyataan” - dari dua pihak yang sama-sama menyatakan menjadi semacam “Penyambung Lidah Rakyat” yang pernah dipidatokan - GESURI (Genta Suara Revolusi) - oleh Bung Karno pada tahun 1963.
Spanduk di pojokan Jl STM Mrican dan Affandi (d/h Gejayan) (sumber:kumparan.com)
ARB sadar aksi yang dilakukan mengganggu aktivitas perekonomian warga sekitar, namun hal tersebut semata-mata untuk melakukan tekanan politik kepada pemerintah, agar mendengarkan tuntutan yang disuarakan. Pihak ARB mengandaikan jika saja Pemerintah peka dan mendengar aspirasi mahasiswa, mereka tidak akan turun ke jalan. ARB sepakat akan terus melakukan aksi, sampai Omnibus Law tidak disahkan. Tentang hal penolakan warga jika Gejayan dijadikan lokasi demonstrasi, sebagaimana dicatat oleh wartawan RRI, pihak ARB mengatakan, “Gejayan memanggil nggak hanya terbatas sebagai lokasi saja, tetapi menjadi sebuah spirit, sehingga dilakukan di manapun itu tidak menjadi masalah; Ini pertarungan wacana di ruang publik, sebuah artikulasi demokrasi pada tahap radikal.”
Tim Peneliti LSR - yang berkantor dan bertetanggaan dengan Jalan Moses Gatotkaca dan Simpang Gejayan - nampaknya juga perlu memahami - atau mendengar dengan lebih baik - ketika menyadari bahwa masih ikut merasa gelisah. Kami (kita?) menjadi gelisah, justru karena tidak merasa ikut gelisah - sebagaimana dirasakan Sutan Syahrir sekitar 75 tahun silam. Jangan-jangan "kita" malah menjadi ikut baper dan mager - ketika “mendengar” kata-kata dari banyak spanduk dan poster dari kedua belah pihak, pihak Paguyuban Rakyat Gejayan, maupun pihak yang merasa diri menjadi wakil Rakyat berkat undangan # Gejayan Memanggil!?
Pada HUT TNI (d/h ABRI) 5 Oktober 2020,
dan menyambut Hari Pahlawan 10 November 2020.
Tim Peneliti,
Lembaga Studi Realino
Jalan Affandi (d/h Gejayan), Sleman, Yogyakarta
* * *
Bacaan Acuan
Anderson, Benedict R.O’G.
2018/1972. Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Tangerang: CV Marjin Kiri.
2015. Di Bawah Tiga Bendera, Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial. Tangerang, CV Marjin Kiri. Diterjemahkan oleh Ronny Agustinus.
Kahin, George Mc.Turnan
1952. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
1986. “Sebuah Pandangan Pribadi tentang Perang Kemerdekaan,” dalam Colin Wild dan Peter Carey (eds.), Gelora Api Revolusi Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: BBC dan PT. Gramedia.
Siegel, James T.
1997. Fetish, Recognition, Revolution. Princeton: Princeton University Press.
2001. “Yang Hilang dari Zaman Bung Karno,” Basis, No.03-04, Th.50, Maret-April.
Sumber dari Google
Switxy Sabandar, “Saat Gejayan Memanggil Ribuan Mahasiswa DIY Berkumpul,“ Liputan6.com 24 Sep 2019. Sumber:
https://www.liputan6.com/regional/read/4069768/saat-gejayan-memanggil-ribuan-mahasiswa-diy-berkumpul
Wahyu Suryo, Yahya Widodo (editor), “Aksi Gejayan Memanggil Ditolak Warga, ARB : Itu Bagian Demokrasi.” RRI, 18 Agu 2020. Sumber:
https://rri.co.id/yogyakarta/politik/885655/aksi-gejayan-memanggil-ditolak-warga-arb-itu-bagian-demokrasi?utm_source=news_mai