GEJAYAN (masih) MEMANGGIL IBADAH RAMADHAN DI RUMAH SAJA

GEJAYAN (masih) MEMANGGIL  IBADAH RAMADHAN DI RUMAH SAJA
Spanduk menyambut Lebaran dalam dua bahasa oleh Pengajian Muda-Mudi Fataa di Papringan

Spanduk di ujung timur Gang Guru - jalan masuk menuju UNY dari jalan Gejayan (sekarang: Affandi) - yang dipasang oleh pengurus Masjid Al Falaah Mrican, Caturtunggal, Depok, Yogyakarta, memberi pesan, “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan Di Rumah Masing-masing.” Pesan dan anjuran itu terutama ditujukan kepada warga dan umat Islam yang datang ke arah lokasi masjid dari bagian Barat gang tersebut. Pesan tersebut, nampaknya, berlanjut sampai nanti ketika umat Islam merayakan Lebaran 25 Mei 2020 (lihat Infografis).

 

Masjid tersebut terletak di seberang jalan dari komplek Realino di kampus USD Mrican. Masjid berada di ujung Gang Guru karena bertetangga dengan kampus Universitas Negeri Yogyakarta - dulu IKIP Yogyakarta - yang banyak menghasilkan guru. Sebagai tetangga kampus di sepanjang Jalan Gejayan, komunitas akademis Uiversitas Sanata Dharma (USD) yang sebelumnya juga dikenal sebagai IKIP Sanata Dharma, tak lupa juga memasang baliho besar dengan ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri  1 Syawal 1441" di samping Auditorium Driyarkara. Ucapan selamat itu dilengkapi pesan “Meskipun Jarak Membuat Batas. Kita tetap harus membangun persaudaraan. Merawat Perdamaian,  dan mensyukuri Kebhinekaan.”

 

Pesan dan pilihan “di rumah saja” nampaknya juga sesuai dengan “suara resmi” dari Pemerintah, yaitu Radio Republik Indonesia (RRI) yang berada di pojokan Simpang Gejayan. RRI memasang spanduk, “Mohon maaf, masjid Baiturridwan RRI, Yogyakarta tidak menyelenggarakan kegiatan Ramadhan. Beribadahlah di rumah masing-masing dan raih keberkahan Ramadhan. Terima kasih.”

 

Sementara di pedukuhan Papringan - salah satu wilayah kos-kosan mahasiswa dari kampus USD, UAJY (Universitas Atma Jaya Yogyakarta), UIN (Universitas Islam Negeri) Kalijaga, dll. - yang juga akrab dengan berbagai peristiwa “Gejayan Memanggil,” di sana juga dipasang dua spanduk dengan pesan yang sama; tetapi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Spanduk dibuat oleh kelompok “Muda-mudi Pengajian  Fataa” dengan sapaan  “Selamat Datang Ramadhan & Selamat Jalan Covid-19" dan “Welcome Ramadhan & Goodbye Covid-19.” Spanduk berbahasa Inggris dipasang di Jalan Petung di dekat jalan besar Jl. Laksda Adisucipta, Simpang Empat UIN Kalijaga. Sementara spanduk berbahasa Indonesia dipasang di Gang Tutul, kampung  Papringan, yang sebagian besar warganya adalah orang Jawa.

 

Memilih spanduk berbahasa Indonesia, nampaknya, antara lain, menunjukkan bahwa kawasan kampung, dusun dan dukuh Papringan memang cukup banyak menampung mahasiswa mahasiswi kos-kosan dari kampus di sekitarnya yaitu UIN Kalijaga, USD dan UAJY, INSTIPER (Institut Ilmu Perkebunan), dll.  Dukuh Papringan - juga Mrican, Santren, Demangan, dan Samirono - dengan sebagian besar  warganya yang  akrab berbahasa dan berbudaya Jawa, menjadi contoh bagaimana sebuah masyarakat  plural hidup, berkembang dan bergerak.

 

Pemilihan bahasa Indonesia sebagai “lingua franca” demi nasionalisme RI, kurang lebih agak mirip dengan peran bahasa Inggris sebagai “lingua franca” untuk masyarakat internasional atau kosmopolitan. Lingua franca atau “bahasa bersama” diperlukan demi mewujudkan sikap pluralitas, menghargai sesama,  dan tidak intoleran dengan perbedaan SARA dari sebuah masyarakat plural.  Siegel (Sadur, 2000) sudah menegaskan bahwa kekhasan penggunaan bahasa Indonesia - dulu Melayu - sebagai linguafranca membutuhkan dua syarat. Pertama,  tidak bikin rikuh dalam perjumpaan antar warga, sesama kita, dalam sebuah masyarakat beragam yang berbeda kelas Sosial, Agama, dan Ras (SARa). Kedua, bahasa bersama tersebut juga tidak membawa-bawa cermin ke “wajah” sesama kita “yang lain” itu; meskipun berbeda golongan SARa. Masih dalam lingkungan Papringan tersebut, juga dipasang spanduk dari mesjid setempat  Al-Hidayah  yang menghimbau, “Sempurnakan Puasa dengan Zakat.”

 

Berdampingan dengan Papringan, di ujung Jalan STM Mrican, dan terletak di pedukuhan Santren, warga setempat  memasang spanduk : “Selamat menjalankan beribadah puasa. Ramadan Kareem 2019" yang artinya ikut mendoakan “Mudah-mudahan Ramadhan memberi kebaikan”bagi  orang yang menjalani puasa di bulan Ramadhan.

 

Tak perlu disangsikan lagi bagaimana selama ini rakyat kecil atau warga masyarakat di sekitaran Jalan Gejayan yang meliputi pedukuhan:  Papringan, Santren, Mrican, Samirono Baru dan Demangan Baru, menjadi saksi - sebagai petangguh (survivor) maupun korban (victims) dari berbagai aksi perlawanan, atau negosiasi  mahasiswa Jogja yang  “turun ke jalan” seperti terjadi pada peristiwa Reformasi 1998. Tulisan dan foto-foto berikut ini berusaha melukiskan bagaimana masyarakat - dalam beragam latar belakang SARa  -  menghadapi, bersikap dan bersuara terhadap kedudukan dan peran para penguasa dan pejabat negara bangsa RI. Pilihan-pilihan sikap, suara dan aksi mereka, khususnya seperti ketika harus merayakan peristiwa penting dan mendesak untuk ditangani yaitu Ramadhan dan Lebaran 2020; ditambah kegawatan darurat masa pandemi global Covid-19 yang masih membayangi.

 

                                                                           * * *

 

Tulisan ini berusaha memaparkan bagaimana para pembaca dapat dan akan memahami bahwa sebagai umat Muslim yang akan melaksanakan ibadah puasa dan Lebaran - di sekitaran Jalan Gejayan tersebut - malah terancam oleh bahaya penularan pandemi Covid-19?! Bagi mereka perlu untuk melawan Covid-19 dan  peduli dengan wawasan politik ekonomi dan kebudayaan global, mungkin akan lebih mudah mencari dan/atau  menerima  kabar tentang pandemi virus Corona tersebut dengan dan dalam segala ketidak-jelasannya - sebagaimana diperbincangkan oleh lembaga IMF dan WHO.

 

Tulisan ini mengundang para pembaca budiman   - melalui penampilan beragam spanduk dan baliho - untuk tidak mudah abai dan sering mengesampingkan suara dan kebijakan lokal rakyat kecil. Rakyat kecil yang  dengan beragam komunitas masih mampu bersiasat, “menegosiasi,” dan melakukan aksi “domestikasi” terhadap ketidak-jelasan (baca: “perang”) tersebut dengan re/aksi - seperti misal, dalam pilihan kata “lock-down” di daerah tertentu di Jogja pada awal merebaknya pandemi Covid-19 di Indonesia (tulisan sebelumnya).

 

Spanduk kerakyatan yangm diperbincangkan dalam tulisan ini berisi dan menampilkan kuasa simbol dan kata-kata yang begitu effektif dan operatif (dalam gagasan Victor Turner: Forest of Symbols) sebagaimana juga tercerminkan dalam gagasan Bung Karno sebagai “Penyambung Lidah Rakyat” dalam pidato kenegaraan  GESURI (Genta Suara Revolusi) DI Jakarta pada 17 Agustus 1963. Dalam arti tertentu, bukankah beragam spanduk yang dipasang secara publik  - dan ketersebar-luasannya melalui med-sos modern - memberi peluang  tumbuh-suburnya  imajinasi atau keterbayangkannya komunitas nasionalisme.

 

Tak dapat disangkal bahwa pengalaman masyarakat Jogja dari huru-hara Reformasi (Mei 1998), bencana gempa bumi mematikan (2006), letusan besar vulkanik Merapi (2010), dan hujan abu akibat letusan dahsyat  gunung Kelud (2014) ikut menghasilkan tradisi kebijakan lokal kerakyatan termaksud. Sebagai catatan terhadap kurang maksimalnya tulisan ini yaitu keterbatasan waktu dan kebebasan bergerak - karena protokol Covid-19 - juga mempengaruhi keterbatasan melakukan wawancara dalam pengamatan etnografis tulisan ini. 

Spanduk dan baliho yang ditulis dan dipasang oleh warga pedukuhan sekitaran Jalan Gejayan (sekarang, Jl. Affandi). Jalan Gejayan menjadi fenomenal dengan berbagai peristiwa terkait(kait)kan dengan slogan “Gejayan Memanggil” yang begitu populer di kalangan mahasiswa dan kaum muda milenial lainnya sejak akhir bulan September 2019 yang lalu. Masyarakat dengan kaum milenial yang begitu akrab dan nyaman dengan ketersediaan teknologi informasi modern dengan “med-sos”nya.

 

                                                                            ***

 

Jalan Gejayan - sekarang Jalan Affandi - sering juga dianggap salah satu “college town” di luar kawasan utama kampus UGM di sekitar Jalan Kaliurang. Di sebelah Barat dan Timur sepanjang jalan besar Gejayan adalah daerah pemukiman mahasiswa. Vikita, sebuah pusat belanja swalayan memasang spanduk, “Marhaban Yaa Ramadhan. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa. “ Sementara  pusat belanja swalayan Mirota Kampus di dekat Selokan Mataram, memajang spanduk, “Pusat Parcel Lebaran. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa.” Sebuah toko roti dan kue, Pandan Leaf, sejak awal bulan Ramadhan juga memasang spanduk “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa. Menyediakan Parcel Lebaran.”

 

Berdampigan dengan Simpang Gejayan, daerah dan (Jalan) Komplek Kolombo yang termasuk dalam pedukuhan Demangan Baru selama ini menjadi kawasan bisnis rumah fesyen dan kulineria yang diakrabi kalangan muda milenial  - mahasiswa termasuk. Menarik bahwa “bisnis” dengan target konsumen kaum milenial di daerah Komplek Kolombo dan Demangan Baru - seperti juga di sepanjang Jalan Kolombo, Samirono Baru - mampu berbahasa secara kreatif untuk  melakukan taktik atau  siasat (dalam bahasa akademis: negosiasi, domestikasi, apropriasi, dst.) dalam berpromosi untuk tanggap tidak saja terhadap  masa Ibadah Puasa, dan perayaan Lebaran; tetapi juga sekaligus memahami kepentingan “pengetatan atau pembatasan” aktivitas bisnis gegara Covid-19.

 

Sebuah resto kaum milenial bernama “Sch - Journey Coffee” yang menyediakan pelayanan “coffee” dan “records” selama bulan Puasa tahun 2020 memasang sebuah spanduk besar “ Ramadhan Sale Up to 50 %”  di depan restonya dijalan Komplek Kolombo, Demangan Baru. Rumah Fesyen “3 Seconds” di jalan Cenderawasih, di Komplek Pertokoan Kolombo juga menyempatkan memasang spanduk “Tampil Gaya di Hari Raya. Spesial Diskon Hingga 50 %. 24 April - 31 Mei 2020.” Kedua usaha dagang khas milenial tersebut berlokasi tak lebih dari seratus meter dari lokasi (ritual sosial politik) “Gejayan Memanggil” di Simpang Gejayan, dekat  Jalan Moses Gatotkaca. 

 

Nampaknya, boleh juga bahwa “diskon Ramadhan”  itu bermakna supaya semakin banyak konsumen (milenial) yang berbuka puasa. Akan tetapi, peran kata “diskon” dapat juga menjadi ungkapan dari pemilik resto atau kafe tersebut menjadikan rasa “kehilangan profit” - meskipun tidak harus berarti merugi - seperti pada masa “normal” menjadi semakin terasa untuk diimajinasikan sebagai hal “yang sudah hilang” (lihat Pahlawan Belia. Saya Shiraishi). Apalagi, kalau rasa  “yang sudah hilang” tersebut - bagi yang merasa diri lebih sebagai “korban” (victim) daripada sebagai petangguh (survivor) - akan terasa lebih berat. lebih menyakitkan ketika terjadi seiring pada masa berlangsungnya pageblug virus Covid-19; dengan protokol untuk menjaga jarak sosial dan fisik, tak boleh mudik, tidak berhalal-bihalal atau “Syawalan” dll. seperti biasanya.

 

Pada pojok barat-daya dari kampus UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), dan pada sisi Jalan Kolombo, ada  sebuah baliho besar milik sebuah industri rokok yang selama ini mengandalkan orang muda milenial sebagai konsumen idola. Selama Ramadhan 2020 dan Hari Raya Lebaran sesudahnya, baliho (iklan luar ruang)  tersebut “menyapa” orang-orang yang lalu-lalang di simpang-empat  Jalan Kolombo yang dipotong ujung  Gang Bougenville (dukuh Samirono Baru) dan ujung jalan Karangmalang, di mana terletak stadion, resto dan Hotel UNY.  Di perempatan dengan lampu merah tersebut, baliho iklan rokok itu memuat kata-kata yang di luar kebiasaan masyarakat pada umumnya, “Minta Maaf Setiap Hari, Bukan Setahun Sekali”  - “Bukan Main.”

 

Tidak salah bahwa menurut kebiasaan bahwa sesudah satu bulan beribadah puasa, hal maaf-memaafkan setahun sekali di Hari Raya Lebaran tersebut memang sering saling diucapkan oleh warga masyarakat Indonesia. Bahkan Polres Sleman-DIY juga menyempatkan diri memasang spanduk besar memanjang di pinggir jalan Simpang Gejayan dengan kata-kata, “Mari Bersama Cegah Virus Corona, Jangan Bergerombol Kalau Sedang Berjaga Di Posko.  Selamat Idul Fitri, Tahun 1441 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin.”  Hanya, dan tentu saja, hal maaf-memaafkan dalam pemahaman si penulis spanduk POLRI Sleman-DIY tersebut,  bukan sekedar sesuatu “budaya pop” yang bersandar pada kata-kata “bukan main” seperti dalam iklan rokok termaksud. Pengaruh teknologi informasi modern dan merebaknya “med-sos” membuat kata-kata iklan rokok akan lebih  baik dipahami sebagai sesuatu yang bikin berisik (noisy) daripada sebagai sepantasnya sesuatu yang vokal. Mrazek seorang pemerhati sejarah kolonialisme di Indonesia (R.Mrázek, Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony. Princeton University Press, 2002. Terjemahan bahasa Indonesia tahun 2006) mengungkap bahwa teknologi - dengan para insinyurnya - memungkinkan membuat longgar kaitan antara kata (word)  dan tindakan (deed).  Apalagi, dalam pemahaman Islam, yang mampu memaafkan kesalahan atau dosa manusia hanyalah Allah sendiri.

 

Kurang dari satu minggu sebelum Lebaran, Sultan HB X - yang sekaligus sebagai Gubernur DIY - memberi sapaan rutin beliau (19 Mei 2020) dengan tema “Membuka Misteri Ilahi, Menggapai Keberkahan” (naskah lengkap).  Sri Sultan Hamengku Buwono X tentu saja memahami apa arti beribadah puasa dalam bulan Ramadhan. Dengan segala ketidak-jelasan tentang bencana pandemi Corona, dan keterbatasan ilmu pengetahuan dan akal manusia, Sultan masih yakin, “jika ikhitiar itu semua didukung oleh semangat saiyeg saeka kapti (bersama dalam satu tekad ) dengan menajamkan naluri dan mengasihi sesama, ada harapan kita akan berhasil mengatasi pandemi ini.” Selain dari sapaan pihak HB X yang juga pihak resmi pejabat negara sebagai Gubernur DIY, ada juga dari pihak (tertentu) rakyat dan masyarakat Jogja yang berkehendak baik untuk menyapa pemimpin dan para pejabat negara-bangsa (nation state) Republik Indonesia. Sapaan dan harapan kerakyatan dan kebangsaan tersebut dikata(kata)kan melalui baliho besar di ujung Jalan Kolombo dekat Simpang Gejayan dengan judul “Indonesia Bangkit.”  Pemasang baliho, nampaknya,  menjadi “saksi” tentang kuasa ilahi Tuhan tentang Puasa dan Lebaran di tengah-tengah pandemi Covid19 yang terjadi di negara-bangsa RI.

 

Untuk tidak melupa, mengingat tentang “kebijakan lokal,” hampir setengah abad yang lalu (1969) terbit cetakan pertama buku tulisan James Siegel (lahir 1937) berjudul The Rope of God (1969) berisi tentang masyarakat Islam di Aceh- sering juga dinamai/kan “Serambi Mekah.” Kajian banding etnografis yang jeli dan cerdas tentang Islam semasa kepemimpinan Ulama besar Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureuh (1899-1987) dalam buku Siegel tersebut dicetak ulang dengan dua bab tambahan pada ahun 2000. Sebagian dari isi buku tersebut - berkaitan dengan pengalaman ibadah bulan Puasa dan perayaan Lebaran sesudahnya - sangat menarik untuk ikut belajar hal-hal dan peristiwa yang silam dari masyarakat Islam di Indonesia demi menjelang Indonesia masa kini. Apalagi saat Indonesia - Jogja khususnya - sedang menghadapi derita bencana pandemi Covid-19, bersamaan dengan berlangsungnya bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri sesudahnya.

 

Berdasar penelitian lapangan di Aceh (1962-1963), Siegel mengungkap bagaimana  Daud Beureuh berjasa besar menumbuhkan kesadaran baru - diri pribadi maupun komunal - bagi warga Muslim dan masyarakat Aceh, khususnya sejak tahun 1930an. Dalam ajaran dan tradisi Islam, setiap manusia, mahluk ciptaan Allah,  memilki hawa nafsu yang perlu dikontrol dengan akal yang turun dari Allah melalui kitab suci Al Quran.

 

Dalam catatan Siegel, Ulama Daud Beureueh - dalam pesannya ketika merayakan Idulfitri (1964) di Piedie - menyatakan bahwa adalah keberhasilan manusia dalam doa-doa permenungannya selama masa Puasa di mana berkat kuasa  Allah dan beribadah kepadaNya, tumbuhlah lagi  kesadaran dari pengalaman bahwa akal yang menguasai hawa nafsu manusiawi.  Kesadaran  dan pengakuan dalam dirinya bahwa setiap orang (se-sama-nya) berakal, sepantasnya untuk yang bersangkutan melanjutkan dan memperkembangkan  keber-sesama-an dalam segala kegiatan komunalnya (Siegel 2000: h.195, 267). Siegel memaparkan bahwa ketegangan terus menerus antara posisi sosial seseorang dengan pengalaman batinnya selalu dalam situasi ambang (liminal). “Ketegangan” yang sama dapat dibayangkan seperti bagaimana saat sementara ketika seorang pemuda dibayangkan sebagai seseorang yang “bukan lagi anak-anak, tetapi belum sebagai orang dewasa.”

 

Siegel memberi catatan penting bahwa kalaupun pada perayaan Idul fitri orang Aceh saling meminta dan memberi maaf, dan tradisi itu berdasar kesadaran Islami bahwa puasa adalah sebuah “ibadah,” maka berakhirnya Ramadhan adalah tidak sama dengan kesempatan untuk mencari atau “meminta maaf setiap hari.” Akal adalah mirip dengan gagasan tentang rasionalitas. Melalui penggunaan akal , manusia mampu  mengetahui perintah Allah dan mengontrol hawa nafsunya (2000: 100). Siegel mencatat bahwa para ulama Aceh memahami bahwa “agama adalah pengarah ke akal, dan dengan sarana akal itulah manusia memahami agama (Siegel 2000: 100, 104).

 

Maka, pada akhir Ramadhan, akhir ibadah puasa, menjadi saat membanggakan, dengan kemenangan, khususnya saat  seorang manusia mampu membaharui dan menjadi yakin bahwa kuasa diri pribadinya ada dalam tanggung-jawabnya sendiri (Siegel 2000: 188). Ulama Daud Beureuh mengatakan bahwa saling memaafkan pada  hari Lebaran bukan berarti mohon ampun dari kesalahan yang pernah dilakukan (sesama) yang satu dengan yang lain; karena hanya Allah dapat memberi ampun.” (2000:197)

 

Mungkin menarik untuk memperhatkan juga kehadiran, komentar, tanggapan atau reaksi dari salah satu baliho besar di ujung Jalan Kolombo, dekat  Simpang Gejayan. Baliho tersebut juga memperhitungkan peran keilahian dalam suka duka kehidupan masyarakat yang diwarnai hawa nafsu manusiawi dan akal . Menjelang akhir bulan Ramadhan, baliho besar tersebut  - lengkap dengan lampu pencahayaan untuk malam hari - diberi judul INDONESIA BANGKIT. Tidak ada si/apa yang mencantumkan sebagai pemilik atau sponsor dari pemasangan baliho tersebut. Kalimat pertama dalam baliho tersebut adalah,

 

Tuhan ialah Tempat Perlindungan Indonesia. Yang Maha Tinggi Telah Menjadi Tempat Perteduhan. Malapetaka tidak akan menimpa dan tulah tidak akan mendekat; sebab malaikat-malaikat-Nya akan diperintahkan-Nya untuk menjaga Indonesia. Indonesia Pasti Sembuh, Pasti Selamat. Terima kasih untuk Presiden dan para Pemimpin Bangsa.

 

Dua puluh tahun lebih sejak peristiwa Reformasi Mei 1998 sampai hampir pertengahan tahun 2020, telah banyak perubahan, perkembangan solidaritas yang di/terjadikan dalam masyarakat plural Indonesia - termasuk Jogja/DIY. Perubahan dan perkembangan tersebut dapat dipakai untuk memahami bagaimana  selama ini negara bangsa (negara nasionalisme, nation-state) Indonesia dapat berlangsung - dalam beragam peristiwa suka dan duka yang mewarnainya. Unsur-unsur kelas sosial, agama, dan ras atau etnisitas, masih ditambah dengan pengaruh - menguntungkan atau merugikan - dari industrialisasi modern teknologi informasi dan media-sosial, budaya pop, dll. Pengaruh dan “jasa” teknologi modern tersebut cukup jelas mempengaruhi cara dan gaya masyarakat Indonesia bertindak  (lokal, nasional, global maupun kosmopoitan), melalui beragam spanduk dan baliho kerakyatan untuk menanggapi kedudukan dan peran negara bangsa tersebut selama masa  wabah pandemi Covid-19, melakukan ibadah Puasa, dan tradisi Lebaran sesudahnya. Tambah lagi, spanduk dan baliho tersebut juga secara tidak langsung sebagai tanggapan terhadap aksi dan gerakan pihak-pihak tertentu, dengan kepentingan sepihak tertentu, yang gemar  mengiklankan dan mempromosikan slogan berbunyi “Gejayan Memanggil” - dengan dalih bertindak bagai  Penyambung Lidah Rakyat juga.

 

Masyarakat Jogja, khususnya  empat pedukuhan dari Kelurahan Catur Tunggal beruntung - dalam arti tertentu - karena menjadi saksi dan ikut menjadi sebagian pelaku dalam solidaritas dan gerakan nasionalisme Indonesia sejak peristiwa Reformasi Mei 1998, selanjutnya mengalami berbagai bencana dengan duka-derita  di tahun 2006 (gempa bumi), 2010 (letusan Gunung Merapi), dan 2024 (hujan abu Gunung Kelud).  Peran Negara Bangsa Indonesia melalui pejabat tinggi pusat sampai perangkat desa dan pedukuhan, kampung RT/RW nampaknya banyak menemui atau menghadapi kata-kata, suara, bunyi demi negosiasi (atau “domestikasi,’ “apropriasi,” dll.) yang kreatif bukan main - khususnya melalui beragam spanduk dan baliho. Siasat negosiasi dalam wujud  bermacam aksi, gerakan dan  tindakan simbolik yang effektif dan operatif dari berbagai kalangan/lapisan  warga masyarakat - legal maupun ilegal. Khususnya, dan menjadi lebih menarik - karena sifat penting dan mendesaknya - bahwa negosiasi termaksud terjadi pada masa wabah bencana pandemi virus Covid-19 yang berlangsung pada masa Ibadah Puasa dan perayaan Lebaran tahun 2020.

 

Kalau boleh, sekali lagi, membandingkan dengan pengalaman masyarakat Aceh ketika mereka perlu senantiasa jeli dan waspada untuk tidak melupa hal yang silam demi menjelang yang di depan, umat Muslim setempat dengan melaksanakan ibadah puasa seseorang menjadi sadar dan merasakan kehadiran keterkaitan antara se-sama (yang lain) sebagai ciptaan Allah (Siegel 2000: 282-283). Kesadaran, keterbayangkannya, antar se-sama dengan akal dan hawa nafsu tersebut, menjadi sesuatu harapan untuk mampu melanjutkan solidaritas sosial komunal untuk menjelang hari dan bulan di tahun yang baru.

 

Seorang perempuan, warga Jogja - sekarang tinggal di Jakarta - MY Esti Wijayati, salah satu Wakil D.P.Rakyat  RI, Komisi X, menyempatkan diri memasang baliho di Jalan Kolombo, dekat Simpang Gejayan. Wakil “Penyambung Lidah Rakyat” ini menyapa dan ikut mengucapkan: “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H.”  Beliau juga berpesan,”Hidup adalah kesempatan. Selagi bisa, lakukanlah untuk jadi berkah.” Esti adalah Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan. Sampai seminggu sesudah Lebaran (2 Juni 2020), baliho  wakil rakyat tersebut masih hadir tak jauh dari Simpang Gejayan.

 

Dari hal-hal yang silam di sekitar Simpang Gejayan, inilah kata-kata menjelang untuk hari esok dari kami di Realino. Kami juga sebagian dari warga di sekitar persimpangan antara Jalan Kolombo dengan Jalan Affandi (d/h Gejayan). Lokasi jalanan ini strategis di mana selama ini kami juga ikut mendengar bunyi seruan “Gejayan Memanggil” masih suka diulang(ulang-i), demi apapun juga maksud tekad kepentingannya.

 

Kami haturkan selamat ber-Lebar-an, mari melanjutkan keber-sesama-an komunitas masyarakat negara-bangsa Indonesia Raya.

 

Pada perayaan HUT Panca Sila tahun 2020.

Tim Riset & Publikasi LSR

 

                                                                           * * *

C a t a t a n:

Lima pedukuhan yang dibahas dalam tulisan ini dan sebelumnya: Dukuh Santren (dengan tiga dusun Karangasem, Deresan, Santren), Dukuh Mrican (dengan dusun Pringgodani, Mrican Baru), Dukuh Papringan (dengan dusun Demangan Baru, Ngentak Sapen, Papringan), dan Dukuh Samirono (dengan dua dusun Samirono Baru, Samirono) adalah daerah yang paling berkaitan dengan mitologi “Gejayan Memanggil” di sepanjang jalan Affandi (d/h Gejayan).

 

Lima pedukuhan itu menjadi bagian dari Desa Catur Tunggal. Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Catur Tunggal (CT) dengan dua desa lain Condongcatur (CC) dan Maguwoharjo menjadi bagian dari Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Sleman, dengan luas 574,82 km (18,04% dari total wilayah DIY). Sebagai perbandingan, Kecamatan  Kraton (bagian dari Kota Madya  Yogyakarta) hanya seluas  1,4 km2

 

Kecamatan Depok dengan 3 desa dan 58 dusun, mempunyai luas wilayah:  35,55 km2 (atau 3.555 hektar). Desa CT mempunyai populasi (terpadat di Kab. Sleman) sebesar: 188,771 jiwa. Desa Caturtunggal mempunyai luas wilayah: 11.070.000 M² atau 889.7480 Ha; dengan populasi 61.606 jiwa (data tahun 2012).  Hampir seperempat populasi kelurahan CT dihuni oleh mahasiswa yang kos atau kontrak rumah di situ.

 

Petik 31 Mei 2020

Sumber:

Jogjaprov.go.id

Badan Pusat Statistik Sleman DIY

Pesan Sri Sultan HB X pada 19 Mei 2020