Menakar Kadar Nasional(isme)

Menakar Kadar Nasional(isme)
Kalau mahasiswa Universitas Gurukul udah turun gunung, tandanya negara sudah gawat pada aksi Gejayan Memanggil Jilid II, Senin (30/10/2019) (Sumber foto: LSR)

Wahyu Aryono Nugroho (Awang)

Tulisan yang disajikan oleh Romo Budi Susanto, SJ menurut saya merupakan tulisan yang tidak mudah dipahami. Perlu beberapa waktu untuk membaca agar dapat memahami maksud dari kalimat-kalimat tersebut, sekalipun beberapa kalimat tetap saja tidak mampu terpahami. Tetapi yang menarik adalah, tulisan tersebut mengantarkan pembaca untuk menakar kadar nasionalisme pada diri masing-masing.

 

Ini adalah salah satu kalimat yang paling menarik, “Apa yang sesungguhnya membikin seorang warga negara rela hidup atau mati demi “nasionalisme.” Orang yang sama itupun bersedia memusuhi dan bahkan membunuh sesamanya (yang lain) demi nasionalisme pilihannya itu.”

 

Dari sekian kali membaca artikel tersebut sampailah saya pada pertanyaan seperti “Apakah kemudian seorang koruptor itu adalah orang-orang yang tidak memiliki nasionalisme?” Saya beranggapan bahwa perilaku korupsi itu adalah perilaku warga negara yang rela hidup atau mati demi korupsinya dan yang bersedia memusuhi dan bahkan membunuh sesamanya demi korupsi pilihannya itu. Apalagi jika sampai membandingkan seorang koruptor dengan sifat seorang patriot maka akan sangat jauh. Jika kemudian seorang koruptor dikatakan sebagai seorang tanpa nasionalisme maka nasionalisme sebenarnya sedang berhadapan dengan nafsu harta dan keinginan perut, yang bisa jadi juga datang dari keluarganya. Bagi mereka mungkin persoalan bangsa negara tanah air ialah persoalan mengibarkan bendera saat tanggal 17 Agustus dan menghadiri upacaranya saja tetapi selanjutnya yang berkibar adalah persoalan nafsu harta dan keinginan perut.

 

Gerakan masif mahasiswa di Indonesia yang sedang memprotes RUU KPK pada saat itu juga menurut saya pribadi belum tentu menjadi gerakan nasionalisme untuk melawan koruptor yang “tanpa nasionalisme” itu. Pertanyaan yang muncul bagi saya ialah apakah memang benar gerakan mahasiswa adalah gerakan tentang kebangsaan ini, yang katanya sedang dipukul oleh mereka yang mencari keinginan perut, melawan para koruptor yang bersembunyi dibalik RUU KPK?

 

Saya rasa, inilah saat yang tepat untuk merefleksikan kembali perjalanan nasionalisme setelah era 1998. Benarkah mereka yang kemudian membawa nama rakyat selalu dikatakan sebagai gerakan nasionalisme? Atau jangan-jangan justru merekalah koruptor sejati yang terselubung selimut nasionalisme dan “kepentingan rakyat”. Semangat dan pemahaman nasionalisme memang terus harus dikembangkan. Sependapat dengan romo Budi, tidak mudah memang memahaminya.

 

Sedikit yang bisa saya pahami, nilai-nilai tanpa pamrih dan mandiri, terbebas dari belenggu primordialisme adalah beberapa indikator mengenai nasionalisme itu sendiri. Sangat cocok bagi Indonesia yang multikultur, kepentingan golongan masih tinggi, dan berdikari saja masih gojag-gajeg, termasuk saya pribadi mungkin.